Scroll untuk baca artikel
Lampung

Proyek Rp 2,8 Miliar di SMKN 1 Way Bungur: Wartawan Tanya Data, Kepsek Malah Panggil Polisi?

×

Proyek Rp 2,8 Miliar di SMKN 1 Way Bungur: Wartawan Tanya Data, Kepsek Malah Panggil Polisi?

Sebarkan artikel ini
Foto suasana di ruangan saat Kepsek SMKN 1 Way Bungur menerika wartawan yang akan konfirmasi terkait proyek sebelum berujung pengusiran dan pemanggilan polisi, pada 17 September 2025 - foto doc Jali

LAMPUNG TIMUR – Alih-alih menjawab pertanyaan wartawan soal proyek revitalisasi pendidikan senilai Rp 2,826 miliar, Kepala Sekolah SMKN 1 Way Bungur, Yusnida Febriany Harahap (YFH), justru naik pitam.

Peristiwa pada 17 September 2025 itu berujung pada pengusiran wartawan dari ruangannya adegan yang ironis, mengingat sekolah seharusnya jadi tempat mencerdaskan, bukan membungkam.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Safarudin, wartawan Pelita Rakyat, mengaku datang sesuai janji untuk melakukan konfirmasi terkait proyek yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2025.

Ia bahkan sudah dapat lampu hijau dari Ketua Panitia Pelaksana, Sukatno. Namun, begitu bertanya soal temuan lapangan pekerja proyek tanpa APD, detail anggaran, hingga logika pemberian bantuan suasana langsung panas.

“Ya Allah, Pak, pahami dulu materi. Kalau ada sekolah lain tidak dapat bantuan, itu karena tidak update data di Takola. Kami justru disuruh berbagi praktik baik sama BPKP,” kata YFH dengan nada tinggi.

Masalah makin memuncak saat wartawan menanyakan jumlah pekerja dan upahnya. Pertanyaan sederhana tentang akuntabilitas proyek swakelola berubah jadi pemicu kemarahan.

Akhirnya, Kepsek memanggil polisi dan tokoh warga. Empat orang datang ke sekolah, seolah wartawan sedang mengganggu ketertiban umum, padahal yang ditanya hanya soal gaji pekerja.

Safarudin menegaskan, publik berhak tahu jumlah tenaga kerja dan kisaran upah dalam proyek APBN.

“Ini proyek swakelola, bukan urusan dapur pribadi. Jumlah pekerja dan standar upah itu bukan rahasia negara,” ujarnya.

Belakangan terungkap ada 34 pekerja yang dilibatkan, sebagian bahkan bukan warga sekitar. Ironis, proyek pendidikan yang seharusnya memberdayakan masyarakat lokal justru merekrut pekerja dari luar daerah.

Setelah Ramai, APD Baru Dipakai

Setelah berita media muncul, lokasi proyek akhirnya dipasangi safety line dan pekerja mendadak tampil lengkap dengan APD. Satirnya jelas, keselamatan kerja baru dianggap penting setelah kamera wartawan datang, bukan sejak proyek dimulai.

Pemimpin Alergi Kritik

Safarudin menyayangkan sikap arogan seorang kepala sekolah dengan mengatakan jika tidak siap dikritik, jangan jadi pemimpin. “Kalau tidak mau diawasi, jangan terima proyek APBN. Kalau bangunan itu pakai uang pribadi, silakan saja bebas. Gitu aja kok repot?” tegasnya.

Sikap YFH dinilai mencoreng wajah dunia pendidikan. Alih-alih memberi contoh kedewasaan, yang muncul justru kesan anti-kritik. Padahal, seorang kepsek semestinya menjadi teladan keterbukaan, bukan malah panik begitu mendengar kata “transparansi”.

Kasus ini menyingkap sindiran yang lebih dalam, sekolah yang seharusnya jadi tempat menanamkan integritas justru terjebak dalam mentalitas proyek.

Uang negara mengalir deras, tapi pertanyaan sederhana dari publik dianggap ancaman.

Pertanyaan yang tersisa pun menggantung:

Jawabannya mungkin sederhana: sebagian orang lebih siap membangun gedung daripada membangun kejujuran.***

SHARE DISINI!