Scroll untuk baca artikel
BudayaZona Bekasi

Pujawati Dudonan ke-61: Kota Bekasi, Ritual, dan Retorika Kerukunan

×

Pujawati Dudonan ke-61: Kota Bekasi, Ritual, dan Retorika Kerukunan

Sebarkan artikel ini

KOTA BEKASI – Gegap gempita kota yang sering distereotipkan hanya sebagai “tetangga Jakarta” dan gudangnya kemacetan, ada sepotong perayaan yang justru mengingatkan bahwa Bekasi punya denyut budaya dan spiritualitas sendiri.

Puncak Karya Pujawati Dudonan ke-61 di Pura Tirta Buana Kalimalang, akhir pekan ini, menjadi saksi bahwa ritual bukan hanya perkara religius, tetapi juga panggung kebersamaan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pura Tirta Buana Kalimalang menjadi panggung khidmat bagi pelaksanaan Puncak Karya Pujawati Dudonan ke-61. Umat Hindu dari berbagai penjuru berkumpul, melantunkan doa, menggelar upacara, sekaligus menegaskan bahwa tradisi bukanlah sekadar arsip masa lalu, melainkan denyut hidup yang terus dipelihara.

Di antara wangi dupa dan lantunan mantra, hadir pula Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto. Ia datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan, melainkan sebagai simbol “kerukunan” yang menjadi jargon wajib pejabat di negeri yang kaya perbedaan, sekaligus kaya retorika.

Dalam sambutannya, Tri menyatakan kebanggaan kepada umat Hindu yang teguh menjaga budaya leluhur. Tradisi Pujawati Dudonan, katanya, bukan hanya upacara sakral, tapi juga perekat kebersamaan sekaligus memperkaya mosaik budaya Bekasi.

“Bekasi ini rumah semua agama. Keragaman adalah kekuatan kita,” ujarnya.

pernyataan yang, di luar pagar pura, seringkali berbenturan dengan realitas: sengketa tanah rumah ibadah, intoleransi yang mencuat di medsos, hingga ruang publik yang kerap lebih ramah kepada mal ketimbang budaya.

Tri menegaskan bahwa Pemkot Bekasi berkomitmen memberi ruang harmonis bagi semua keyakinan. Ritual seperti Pujawati Dudonan, katanya, harus terus dijaga, bukan hanya sebagai warisan spiritual umat Hindu, tapi juga sebagai cara merawat persaudaraan.

Acara berlangsung khidmat, sarat makna simbolik, seolah mengingatkan bahwa di tengah deru betonisasi dan pembangunan kota yang makin sesak, ada ruang kecil di mana tradisi dan spiritualitas masih bernafas.

Di balik itu, terselip ironi, ketika pesta budaya dan ritual keagamaan hanya hidup kala pejabat datang dan kamera wartawan menyorot, apakah kita sungguh menjadikan tradisi sebagai denyut nadi masyarakat, ataukah sekadar ornamen pelengkap retorika kerukunan?

Bekasi seperti Indonesia pada umumnya masih terus belajar menempatkan budaya, agama, dan politik di panggung yang sama: satu kaki di altar spiritual, satu kaki di podium kekuasaan.

Sementara rakyat, di antara dupa dan spanduk visi-misi, tetap berharap harmoni yang dijanjikan bukan hanya sebatas kata sambutan.***

SHARE DISINI!