BANDUNG – PT Pupuk Indonesia (Persero) dengan mantap menegaskan bahwa pupuk bersubsidi hanya boleh ditebus sesuai harga eceran tertinggi (HET). Begitu katanya. Tapi, seperti biasa, rakyat kecil tahu: di kertas satu hal, di lapangan hal lain.
Senior Vice President Strategi Penjualan & Pelayanan Pelanggan PT Pupuk Indonesia, Deni Dwiguna Sulaeman, sampai harus mengingatkan dengan nada seperti guru SD menegur murid nakal: jangan sekali-sekali campur harga pupuk dengan ongkos antar dalam satu nota.
“Misalnya harga Urea Rp112.500 per zak, kalau ada ongkos antar Rp20 ribu, jangan digabung jadi Rp132.500. Harus dipisahkan pembayarannya,” ujarnya dalam sosialisasi bersama Komisi IV DPR di Kabupaten Bandung, Rabu (17/9/2025).
Pupuk Indonesia mengklaim distribusi pupuk bersubsidi mengikuti prinsip 7 Tepat: tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, mutu, dan penerima. Tapi para petani tahu, di lapangan sering muncul tambahan: “Tepat Iuran, Tepat Ongkos, dan Tepat Dalih.”
Bila ada kios atau PPTS (Pengecer Pupuk Tingkat Satu) nekat jual di atas HET, ancamannya jelas: sanksi sampai pencabutan izin. Namun, seperti halnya aturan helm di jalan raya, ancaman lebih sering jadi kalimat formalitas ketimbang tindakan nyata.
Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, tampil heroik di hadapan petani. Ia berapi-api mengajak semua pihak ikut mengawasi distribusi pupuk.
“Malu saya kalau di Bandung pupuk subsidi susah, padahal stok banyak,” katanya.
Lucunya, di negeri ini stok pupuk memang “selalu banyak” di gudang, tapi entah kenapa selalu “sedikit” di tangan petani. Fenomena klasik: pupuk seperti hantu, ada tapi susah ditemui.
Rajiv juga menceritakan pengalaman saat reses. Ada petani sudah bawa KTP ke kios, tapi tetap tidak bisa menebus pupuk. Alasannya: belum masuk RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok).
Maka lengkaplah penderitaan petani kita: jadi petani harus punya lahan, punya tenaga, punya modal, dan juga punya nasib baik masuk daftar RDKK. Kalau tidak, siap-siap beli pupuk nonsubsidi dengan harga “selangit.”
Wakil Bupati Bandung, Ali Syakieb, mencoba menenangkan dengan kalimat khas pejabat: sosialisasi ini penting, penyaluran pupuk bersubsidi harus lebih efektif, ketahanan pangan harus tercapai.
Kalimat template, tapi tetap terdengar menyejukkan – walau di sawah, petani masih pusing mencari pupuk.
Di atas kertas, program pupuk subsidi ini adalah jalan menuju swasembada pangan ala Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Di lapangan, yang sering swasembada justru keluhan petani: pupuk sulit, harga naik, distribusi tersendat.
Mungkin ke depan, prinsip “7 Tepat” perlu ditambah satu lagi: Tepat Janji. Karena janji soal pupuk murah dan gampang didapat sudah terlalu sering ditabur, tapi entah kapan bisa dipanen.***