KOTA BEKASI — Apa jadinya kalau tempat pelayanan kesehatan masyarakat malah bikin orang makin sakit hati. Kejadian ini terjadi di Puskesmas Teluk Pucung, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Kekinian Puskesmas tersebut menjadi sorotan, bukan karena gebrakan inovasi layanan kesehatan, melainkan karena dugaan praktik “sunat” gaji tukang parkir hingga Rp1,8 juta.
Kasus ini terkuak setelah sebuah video viral di TikTok, diunggah akun Haji Mumu. Dalam video itu, seorang perempuan yang mengaku anak dari M Husin, tukang parkir yang sudah 21 tahun mengatur keluar-masuk motor di Puskesmas, curhat getir.
“Bapak saya udah kerja 21 tahun jadi tukang parkir, tapi baru ketahuan gajinya disunat. Harusnya Rp3 juta, tapi yang sampai cuma Rp1,2 juta. Katanya Rp1,8 juta setor ke pusat. Dua bulan terakhir malah nggak digaji sama sekali. Bapak saya cuma hidup dari bagi dua parkiran liar, kadang Rp20 ribu buat bapak, Rp20 ribu buat Puskesmas,” ungkap sang anak.
Lebih miris lagi, menurutnya, ATM gaji sang bapak tidak pernah dipegang oleh M Husin sendiri. Nomor PIN pun katanya dipegang pihak lain. Setiap ada mutasi rekening tercatat penarikan Rp800 ribu, Rp1 juta, hingga Rp3 juta, tapi uangnya tak pernah sampai ke tangan Husin.
“Pokoknya kalau mau ATM harus minta dulu ke mereka. Padahal itu kan hak bapak saya,” ujar sang anak penuh emosi.
Kisah getir ini bak ironi. Seorang tukang parkir yang sehari-hari hidup dari uang receh justru harus “berbagi rezeki” dengan institusi yang semestinya menyehatkan masyarakat. Alih-alih jadi puskesmas, malah terkesan kayak “pusat pemotongan tunjangan parkir massal”.
Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan, jika gaji tukang parkir saja bisa “disunat”, bagaimana dengan hal-hal lain yang tak terlihat?
Menanggapi tudingan bahwa uang potongan parkir liar itu mengalir ke Dinas Perhubungan Kota Bekasi, sesuai yang disampaikan dalam video tiktok tersebut, Kadishub Zeno Bachtiar buru-buru bantah.
“Tidak benar. Saya pastikan tidak ada Dishub Kota Bekasi menerima setoran dari parkir liar seperti itu. Kalau ada yang terbukti, saya sendiri yang akan tindak,” tegas Zeno, sambil menepis tuduhan seolah-olah Dishub punya “rekening khusus parkir haram”.
Miris, seorang tukang parkir yang 21 tahun setia menjaga kendaraan masyarakat ternyata justru harus berjibaku dengan praktik yang mirip “permainan iuran wajib tak resmi”.
Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang menikmati hasil “sunatan” ini? Kalau benar Rp1,8 juta tiap bulan hilang begitu saja, berarti sudah bertahun-tahun ada “donor tetap” dari seorang bapak tua yang mestinya hanya fokus mencari nafkah.
Kalau kasus ini benar, ironi Bekasi akan tercatat tukang parkir di puskesmas ternyata lebih sering “disunat” daripada pasien sunatan massal. ***