Scroll untuk baca artikel
Zona Bekasi

Putusan MA Diabaikan, LINAP Desak DPRD Bekasi Tegakkan Fungsi Pengawasan

×

Putusan MA Diabaikan, LINAP Desak DPRD Bekasi Tegakkan Fungsi Pengawasan

Sebarkan artikel ini
Suasana di Pasar Semi Pondok Gede, Kota Bekasi yang berdiri diatas lahan sengketa seluas 4500 meter persegi - foto doc

KOTA BEKASI — Lembaga Investigasi Anggaran Publik (LINAP) mempertanyakan tajamnya fungsi pengawasan DPRD Kota Bekasi terkait mangkraknya penyelesaian sengketa lahan Pasar Semi Induk Pondok Gede, yang kini telah memiliki kekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA).

Pasar yang berdiri di atas tanah milik warga seluas 4.500 meter persegi di Kelurahan Jatirahayu, Kecamatan Pondok Melati itu dinyatakan secara sah merupakan milik ahli waris almarhum Hamid bin Adah, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 315 PK/Pdt/2025.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Dalam amar putusannya, MA menyatakan Pemerintah Kota Bekasi melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Pemkot untuk mengembalikan tanah tersebut serta membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5 juta per hari atas keterlambatan eksekusi.

Namun, meski putusan berkekuatan hukum tetap sejak April 2025, Pemkot Bekasi hingga kini belum melaksanakan kewajiban hukum itu. Dampaknya, nilai denda dwangsom terus membengkak menembus sekitar Rp1,8 miliaran hungga November 2025.

BACA JUGA :  Satpol PP Bubarkan Kerumunan di Kafe Bekasi Timur

“Fakta hukumnya sudah terang benderang. Putusan MA bersifat final dan mengikat. Tapi Pemkot masih diam. Yang lebih aneh, DPRD seolah tidak mendengar dan tidak melihat. Ini sudah bukan soal hukum semata, tapi soal moral dan tanggung jawab publik,” tegas Baskoro, Ketua LINAP, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (12/11/2025).

Baskoro menilai, sikap diam DPRD Kota Bekasi mencerminkan hilangnya fungsi kontrol politik terhadap pemerintah daerah. Padahal, DPRD terutama Komisi II yang membidangi urusan ekonomi dan pasar seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan kebijakan publik dijalankan sesuai hukum.

“DPRD punya hak angket, hak interpelasi, hak pengawasan. Tapi untuk kasus ini, semuanya seperti dimatikan. Padahal setiap hari kerugian daerah terus bertambah. Uang rakyat terbakar pelan-pelan oleh kelalaian pemerintahnya sendiri,” sindir Baskoro dengan nada getir.

BACA JUGA :  Wali Kota Bekasi Tegaskan Pentingnya Respons Cepat Hadapi Hoaks Digital

Ia menegaskan, kelambanan Pemkot dalam menjalankan putusan pengadilan bukan hanya bentuk pembangkangan hukum, tapi juga bisa masuk kategori kelalaian administratif yang berpotensi merugikan keuangan negara.

“Jika dibiarkan, dwangsom yang dibayar dari kas daerah adalah bentuk kerugian negara nyata. Maka DPRD seharusnya sudah bergerak, bukan diam dan menunggu,” tegasnya.

sebelumnya dalam surat resmi bernomor 100.3/3491/SETDA.Huk tertanggal 5 Agustus 2025, yang ditandatangani Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono, Pemkot Bekasi menyatakan kesiapannya mematuhi putusan MA, namun mengakui belum memiliki kemampuan keuangan daerah untuk membayar ganti rugi lahan kepada ahli waris. Surat itu ditujukan kepada Firma Hukum Aura Keadilan, kuasa hukum ahli waris Hamid bin Adah.

Ironisnya, alih-alih menyiapkan langkah konkret atau perencanaan anggaran untuk penyelesaian kewajiban hukum tersebut, Pemkot justru memilih “menunggu kemampuan anggaran” tanpa batas waktu yang jelas.

BACA JUGA :  Walkot Bekasi Minta Aparatur Gercep Respons Laporan Warga

“Jika DPRD betul-betul menjalankan fungsi pengawasan, mereka bisa mendorong realokasi atau mekanisme tanggung renteng anggaran agar putusan hukum dapat dilaksanakan. Tapi sampai hari ini, tak ada satu pun langkah nyata,” ujar Baskoro.

LINAP juga mendesak aparat penegak hukum (APH) termasuk kejaksaan dan kepolisian untuk memeriksa aspek administratif dan hukum dalam proses penguasaan lahan pasar tersebut.

“Kita bicara tentang aset publik yang berdiri di atas tanah pribadi. Ada potensi pelanggaran hukum dan moral di sana. Jangan sampai ini jadi preseden buruk, pemerintah boleh langgar hukum selama alasannya ‘tidak ada anggaran’,” kata Baskoro.

Ia menegaskan, masyarakat berhak mengetahui sejauh mana DPRD dan Pemkot menegakkan tanggung jawab hukum mereka. “Ketika hukum sudah bicara, pejabat publik tidak boleh memilih diam. Diam itu sama saja bersekongkol dalam ketidakadilan.”pungkas dia.***