JAKARTA – Setelah sekian lama terombang-ambing di arus ketidakpastian, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) akhirnya punya “kabinet baru”.
Ketua Umum PWI terpilih, Akhmad Munir alias Cak Munir, mengumumkan susunan pengurus periode 2025–2030 dalam rapat di Hall Dewan Pers, Senin (15/9/2025).
Ditemani Ketua Dewan Kehormatan Atal S. Depari dan Sekjen Zulmansyah Sekedang, Munir menamakan formasi ini sebagai “kabinet persatuan”.
Istilah yang biasanya muncul di politik, kini resmi masuk ke dunia wartawan karena rupanya, jurnalis juga doyan “bagi-bagi kursi”.
“Wartawan itu harus teguh dengan Kode Etik Jurnalistik. Kami akan mendampingi anggota agar tetap konsisten. Informasi sehat itu ibarat makanan bergizi bagi publik,” ujar Munir, yang kini lebih terdengar seperti menteri kesehatan ketimbang ketua organisasi wartawan.
Dari Dubes, Dirut, sampai Bintang Infotainment
Struktur baru PWI ini penuh dengan nama besar. Ada mantan Ketum, mantan Dewan Kehormatan, sampai para pejabat media papan atas.
Suryopratomo, mantan Pemred Kompas dan Metro TV sekaligus Dubes RI untuk Singapura, didapuk memimpin Dewan Penasihat.
- Ilham Bintang, bapak infotainment, nongkrong sebagai Wakil Ketua.
- Karni Ilyas, pentolan Indonesia Lawyers Club, ikut nimbrung sebagai anggota.
- Dahlan Iskan, pendiri Jawa Pos, hadir biar makin komplet: ada wartawan, ada menteri, ada pengusaha.
- Retno Pinasti (SCTV-Indosiar), Kemal Effendi Gani (Majalah SWA), Asro Kamal Rokan (Republika), plus Agung Dharmajaya (Wakil Ketua Dewan Pers), juga mengisi barisan.
Kalau masih kurang, ada Iman Brotoseno (Dirut TVRI sekaligus sutradara), Hendrasmo (Dirut RRI, ex-BBC), hingga nama-nama muda macam Alfito Deannova (Detik.com) dan Aiman Witjaksono.
Struktur ini lebih mirip “Avengers versi media” bedanya, musuh mereka bukan Thanos, melainkan hoaks, disinformasi, dan kadang sesama wartawan sendiri.
Persatuan atau Museum Jurnalisme?
Dengan wajah-wajah senior plus generasi baru, kepengurusan ini diharapkan jadi jangkar stabilitas pers nasional. Namun, ketika media digital makin cepat, algoritma makin ganas, PWI justru merapikan barisan layaknya kabinet pemerintahan.
Apakah “kabinet persatuan” ini akan benar-benar melawan banjir hoaks, atau malah tenggelam dalam birokrasi internal?
Apakah PWI bisa jadi motor inovasi, atau sekadar jadi club house tempat senior bertukar cerita sambil bernostalgia tentang zaman mesin ketik?
Yang jelas, PWI kini punya deretan nama besar dengan portofolio mentereng. Tinggal publik yang menunggu: apakah mereka bisa memberi “informasi bergizi” seperti klaim Munir, atau malah menyajikan lauk basi yang penuh micin politik.***