BEKASI – Semakin derasnya pemberitaan mengenai dugaan pemotongan dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bekasi ternyata menimbulkan reaksi tak terduga. Bukan rasa bersalah atau refleksi, melainkan keheranan dari sejumlah oknum yang selama ini diduga menikmati aliran dana tersebut.
Salah seorang guru di wilayah Kecamatan Bantargebang mengaku bahwa dirinya juga menjadi “sapi perah” oleh sejumlah oknum, lantaran menerima dana sertifikasi. Ia menyebut pungutan terjadi secara rutin meski nilainya bervariasi antarwilayah.
“Kalau di sini cuma Rp300 ribu,” ujar guru yang meminta identitasnya dirahasiakan, saat dihubungi oleh wawainews.id, Senin (21/7/2025).
Ia menambahkan, praktik ini sudah menjadi kebiasaan, bahkan tetap berlangsung meski Inspektorat pernah turun tangan.
Lebih mencengangkan lagi, di wilayah Kecamatan Mustikajaya, nilai pungutannya lebih besar, berkisar Rp500 ribu per guru.
Dana itu kemudian dialirkan ke sejumlah pihak, mulai dari Operator Sekolah, Kepala Sekolah, UPP, K3S, hingga oknum Dinas Pendidikan.
Namun alih-alih khawatir atau menyesal, beberapa oknum justru heran mengapa praktik yang sudah berjalan bertahun-tahun ini tiba-tiba menjadi ramai dibicarakan publik.
Hal tersebut terungkap dalam sebuah percakapan WhatsApp grup SDN Jaticempaka I, Kecamatan Pondokgede, yang berhasil diperoleh redaksi Wawai News:
“Selama ini aman-aman aja tuh mengenai serti, kenapa tiba-tiba muncul ke permukaan ya? Ada apa gerangan? Selalu ingin jadi yang terdepan SDN Jaticempaka 1,” tulis salah satu anggota grup.
Pesan itu kemudian dibalas dengan penuh sindiran dan tawa: “ALHAMDULILLAH OPERATOR MAU NAIK KELAS,”
Tak berhenti di situ, dalam chat grup lainnya, sejumlah guru bahkan terdengar antusias menyambut viralnya pemberitaan media tentang kasus pemotongan TPG ini, seolah menjadi semacam “prestasi tak resmi”.
“Alhamdulillah viral,” tulis salah satu anggota dengan emoji tepuk tangan.
Respons ini menambah sorotan bahwa mentalitas penyimpangan di beberapa lingkungan sekolah bukan hanya soal dana, tapi juga soal budaya, budaya permisif terhadap praktik kolusi yang telah dianggap “biasa saja”.***