LINGGA – Setiap kali Rendi menginjak pedal gas pick-up nya untuk naik ke ramp door Pelabuhan Roro Jagoh, di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Bukan karena beban muatan berat, tetapi karena rasa waswas menghadapi permukaan jalur penyeberangan yang penuh lubang, ditambal ala kadarnya dengan plat besi, drum bekas, dan tali kapal.
“Lihat sendiri, Bang. Pelabuhan Roro Jagoh Keropos dan bolong-bolong. Sekali salah injak, bisa habis,” ujar Rendi dengan sorot mata gelisah.
Ramp door yang menjadi pintu gerbang utama arus logistik dan mobilitas warga Lingga menuju Batam, Tanjung Pinang, hingga Kuala Tungkal itu kini seperti jebakan maut yang mengintai.
Fasilitas vital ini rusak sejak insiden truk terbalik beberapa tahun lalu. Sayangnya, hingga kini belum ada perbaikan permanen.
Sementara itu, Anton, seorang sopir truk ekspedisi, masih mengingat jelas kejadian tragis yang menimpanya.
“Muatan semen saya nyemplung ke laut. Sudah rugi besar, masih trauma sampai sekarang,” kenangnya.
Ia bukan satu-satunya. Truk terperosok, muatan tercebur, kendaraan tersangkut, kejadian-kejadian seperti ini menjadi kisah biasa di Pelabuhan Jagoh.
Akibatnya, tak hanya nyali sopir yang diuji, tapi juga distribusi barang dan kelangsungan hidup warga Lingga.
Sebagai pelabuhan utama, Jagoh memegang peranan penting dalam rantai logistik.
Jika ramp door rusak, bukan hanya kendaraan yang tersendat, ekonomi pun ikut terguncang.
Tambal Sulam dan Janji yang Tertunda
Kepala Dinas Perhubungan Lingga, Hendry Efrizal, tak menampik kondisi genting ini.
Menurutnya, kerusakan disebabkan muatan berlebih dan faktor cuaca laut.
Ia pun mengklaim jika pihaknya telah melakukan “langkah antisipatif”, mulai dari penutupan lubang darurat hingga pengawasan ketat beban kendaraan.
Namun, janji perbaikan permanen masih dalam tahap “proses penunjukan kontraktor”.
Proyek yang sempat uji coba sejak akhir 2021 itu belum menunjukkan hasil nyata hingga pertengahan 2025.
Suara Lantang dari Masyarakat Sipil
Ketua LAMI Kepri, Datok Agus Ramdah, angkat bicara lantang. Ia menyebut kerusakan ramp door sebagai bukti kelalaian sistemik.
“Proyek mangkrak, jalan berlubang, dan pelabuhan rusak menjadi cermin betapa keselamatan masyarakat dikesampingkan,” tegasnya.
Agus menuntut audit menyeluruh terhadap anggaran perbaikan dan transparansi dalam proses tender.
Bagi LAMI, ini bukan sekadar proyek infrastruktur, ini soal nyawa dan hak dasar warga.
Harapan yang Tertinggal di Dermaga
Frekuensi pelayaran yang menurun, jalan menuju pelabuhan yang juga rusak parah, dan gotong royong sopir menyewa alat berat swadaya mencerminkan satu hal, masyarakat tak lagi bisa hanya mengandalkan negara. Mereka bergerak sendiri.
Namun, publik masih menyimpan harapan. Harapan bahwa pemerintah segera menepati janji.
Harapan bahwa kendaraan tak lagi tercebur. Harapan bahwa ramp door bukan lagi simbol kelalaian, melainkan akses keselamatan dan kesejahteraan.***