JAKARTA – Lembaga pemeringkat utang Moody’s merilis peringkat utang (rating) Indonesia berada pada posisi Baa2, dengan outlook stable. Peringkat utang Indonesia oleh Moody’s telah masuk dalam kategori investment grade sejak Januari 2012.
“Ini menunjukkan fokus pemerintah dalam menjaga stabilitas di tengah gejolak global dinilai baik. Selain itu, reformasi struktural dan fiskal yang dijalankan pemerintah bersama pemangku kepentingan lainnya juga dipandang memberikan hasil positif,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Rabu (12/2/2020) di Jakarta.
Pengumuman Moody’s ini juga dinilai menjadi indikator adanya kepercayaan yang tinggi dari dunia internasional kepada perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global.
“Apresiasi dari lembaga internasional terkemuka, seperti lembaga pemeringkat utang, terhadap kinerja perekonomian Indonesia memiliki peran penting untuk mewujudkan APBN yang lebih sehat, adil, dan mandiri serta perannya dalam perbaikan perekonomian Indonesia secara umum,” tukas Menkeu.
Meski demikiam, pemerintah menyadari bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
“Kami telah dan akan terus melakukan langkah-langkah proaktif untuk mewujudkan hal tersebut, melalui pengelolaan APBN dan kebijakan fiskal yang kredibel dan efektif. Selanjutnya, peranan dari berbagai pihak dan masyarakat luas juga sangat penting dalam mewujudkan perekonomian yang lebih inklusif ke depan,” tandas Menkeu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Tauhid menyambut positif hasil pemeringkatan tersebut. Namun dia mengaku heran, mengapa hasil yang baik itu tidak sejalan dengan arus investasi.
“Saya kira ini positif sekali, sehingga perlu dipertanyakan kenapa investasi justru turun sumbangannya dalam perekonomian? saya kuatir Omnibus Law tidak punya dampak signifikan karena pada dasarnya kita sudah masuk peringkat yang bagus dari Moody’s. Artinya karena kita memang bagus dari dulu,” papar Tauhid, Rabu (12/2/2020) di Jakarta.
Tauhid beranggapan Omnibus Law tidak menyelesaikan sederet persoalan mendasar pada ekonomi makro, yang pada gilirannya pula akan mendorong arus investasi.
“Omnibus Law itu hanya untuk reformasi birokrasi perizinan dan relaksasi perpajakan. Omnibus tidak memecahkan masalah makro ekonomi, produktivitas tenaga kerja, dan sebagainya,” pungkas Tauhid.
Perlu diketahui, dalam laporan tertulus, Moody’s menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil, kebijakan fiskal yang baik dan pengelolaan yang pruden, dengan tingkat beban utang pemerintah dan defisit APBN yang rendah merupakan faktor positif bagi peringkat utang Indonesia. Moody’s juga menggarisbawahi komitmen Pemerintah dalam keberlanjutan reformasi struktural dan fiskal yang baik dan konsisten.
Lebih lanjut, Moody’s juga menilai defisit APBN yang rendah menciptakan beban utang pemerintah yang juga rendah yaitu sekitar 30% dari PDB pada 2019, jauh di bawah rata-rata negara-negara peers yaitu 47,3%. Penilaian positif juga diberikan Moody’s atas posisi defisit transaksi berjalan Indonesia yang juga berada di bawah negara-negara peers. Selain itu, Indonesia dinilai mempunyai buffer yang memadai untuk menghadapi tantangan global.
Di sisi lain, Moody’s melihat adanya risiko yang dapat timbul dari faktor lingkungan dan geografis Indonesia. Dampak yang mungkin ditimbulkan antara lain penurunan produksi pertanian, kerusakan infrastruktur dan properti.
Terdapat beberapa faktor yang dinilai Moody’s dapat mendorong peningkatan peringkat utang Indonesia ke depan, yakni kebijakan fiskal yang baik dan dinilai akan berkelanjutan, potensi peningkatan penerimaan negara, peningkatan pendapatan per kapita, serta pendalaman pasar keuangan dan peningkatan daya saing.(sal)