BANGKOK – Duka menyelimuti Thailand. Ibu Suri Kerajaan Thailand, Ratu Sirikit, ibu dari Raja Maha Vajiralongkorn, wafat pada usia 93 tahun, Jumat (24/10) malam waktu setempat di Rumah Sakit Memorial Raja Chulalongkorn, Bangkok.
Bagi rakyat Negeri Gajah Putih, kepergian beliau bukan sekadar kehilangan seorang ratu melainkan sosok yang dijuluki “Ibu Bangsa”, figur lembut yang menjadi simbol keutuhan monarki modern Thailand selama lebih dari tujuh dekade.
Kerajaan Berduka, Negeri Berhenti Sejenak
Kerajaan Thailand mengumumkan masa berkabung nasional selama satu tahun penuh, sementara seluruh penyiar berita, pejabat istana, dan lembaga pemerintahan kini tampil dalam balutan pakaian hitam warna duka yang juga menjadi bahasa resmi kesedihan rakyat Thailand.
Pernyataan resmi Biro Rumah Tangga Kerajaan Thailand menyebutkan Ratu Sirikit telah lama menjalani perawatan medis akibat komplikasi kesehatan sejak 2019, termasuk infeksi darah yang sempat memburuk pada Oktober ini.
“Kondisi Yang Mulia memburuk hingga Jumat malam dan beliau meninggal dunia pada usia 93 tahun,” demikian bunyi pengumuman kerajaan yang disampaikan penuh kehormatan.
Raja Vajiralongkorn segera memerintahkan penyelenggaraan upacara pemakaman kerajaan dengan penghormatan tertinggi. Jenazah sang ibunda akan disemayamkan di Aula Singgasana Dusit Maha Prasat, kompleks Grand Palace Bangkok, tempat sakral bagi setiap monarki yang berpulang.
“Ibu Bangsa” dan Warisan Cinta yang Panjang
Ratu Sirikit bukan hanya istri dari mendiang Raja Bhumibol Adulyadej, raja paling dicintai rakyat Thailand, tetapi juga penjaga stabilitas emosional monarki di masa-masa krisis politik dan sosial.
Hari kelahirannya, 12 Agustus, bahkan diabadikan sebagai Hari Ibu Nasional di Thailand sebuah bentuk cinta yang dilembagakan oleh negara.
Mantan diplomat dan akademisi, Pavin Chachavalpongpun, menyebut wafatnya Ratu Sirikit sebagai “peristiwa monumental yang menutup satu era keemasan monarki Thailand.”
“Popularitas dan penghormatannya begitu luas, bahkan melampaui sekat politik dan generasi. Ratu Sirikit adalah wajah lembut dari kekuasaan yang tegas,” ujarnya.
Rakyat Turun Menyembah, Takhta Menunduk
Sejak malam duka itu, halaman Rumah Sakit Chulalongkorn disesaki warga dari berbagai lapisan. Ada yang datang membawa bunga, foto lama Ratu Sirikit bersama Raja Bhumibol, atau sekadar doa dalam diam.
Tangis pelan terdengar di antara kerumunan bukan histeris, tapi tenang, khas rakyat yang tahu bagaimana berduka dengan hormat.
Foto-foto dari kantor berita AFP memperlihatkan wajah-wajah pilu yang menatap ke langit Bangkok yang berwarna abu-abu.
Satu generasi menyaksikan cinta abadi pasangan kerajaan yang memimpin hampir tujuh dekade, dari tahun 1946 hingga akhir hayat sang raja pada 2016.
Meski Raja Vajiralongkorn telah naik takhta hampir satu dekade lalu, banyak rakyat Thailand yang masih memandang almarhum Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit sebagai roh moral dan spiritual monarki Thailand.
Kini, ketika “Ibu Bangsa” berpulang, rakyat seolah kembali bertanya: bisakah kasih sayang diwariskan seperti mahkota?
Thailand: Di Antara Air Mata dan Upacara
Masa berkabung selama setahun bukan sekadar simbol, tapi juga ritual yang meneguhkan kembali identitas Thailand sebagai kerajaan dengan tradisi panjang dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Di tengah perubahan sosial, tekanan modernitas, dan turbulensi politik yang kadang mengguncang Bangkok, kematian Ratu Sirikit mengingatkan rakyat akan fondasi lama: monarki, moral, dan martabat.
Bagi sebagian orang, ini adalah masa hening yang suci; bagi yang lain, sebuah refleksi tentang arah monarki di bawah generasi baru.
Namun satu hal pasti Bangkok hari ini berhenti sejenak bukan karena takut kehilangan takhta, tetapi karena kehilangan cinta yang menjaganya.
“Ibu Bangsa telah berpulang, tapi kasihnya masih bertakhta di hati rakyat,” tulis salah satu surat kabar lokal. Dan seperti lazimnya di Thailand, kata-kata duka disampaikan dengan penuh keanggunan karena di negeri ini, bahkan air mata pun punya etika.







