Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Reformasi kepolisian merupakan agenda mendesak di banyak negara berkembang yang masih mewarisi sistem keamanan kolonial. Di Indonesia, problem kelembagaan Polri tidak dapat dipisahkan dari akar historis, kultur kekuasaan, serta arsitektur institusional yang terbentuk sejak era kolonial.
Perubahan yang bersifat administratif tidak akan bermakna tanpa memahami persoalan ini sebagai problem struktural dan filosofis, bukan semata perilaku individual.
1. Akar Historis: Polisi sebagai “Aparat Kekuasaan”
Institusi kepolisian Indonesia lahir dari rahim kekuasaan kolonial. Polisi Hindia Belanda berfungsi menjaga stabilitas kekuasaan kolonial mengontrol, bukan melindungi penduduk. Dalam kerangka teori negara kolonial (Mamdani, 1996), aparat keamanan dibangun dengan logika “state against society”, bukan “state for citizens.”
Warisan itu terbawa hingga pascakemerdekaan. Polisi tetap ditempatkan sebagai pemegang coercive power yang luas, dengan orientasi pengawasan (surveillance) lebih dominan daripada pelayanan publik. Akuntabilitas ke publik terbatas, tersandera oleh kultur militeristik dan hierarki komando.
Selama paradigma dasar ini tidak dibongkar, setiap reformasi administratif hanya menjadi kosmetik institusional tampak baru, tapi bermental lama.
2. Problem Kompetensi: Antara Diskresi dan Defisit Hukum
Polisi modern dituntut memiliki tiga kompetensi dasar: pemahaman hukum, manajemen konflik, dan kemampuan investigasi berbasis prosedur serta bukti (Bayley, 2006; Goldstein, 1990).
Namun realitasnya, banyak personel kepolisian tidak memiliki basis pendidikan hukum yang memadai ketika memasuki institusi. Akibatnya, manajemen kekuasaan sering menggantikan manajemen hukum. Diskresi penyidik yang semestinya digunakan untuk menjamin due process of law justru menjadi ruang subjektivitas yang rawan disalahgunakan.
Keputusan penyidikan sering kali tidak berdasar analisis yuridis yang kuat, melainkan pada kebiasaan internal atau tekanan eksternal. Padahal, dalam teori Police Discretion, diskresi tanpa kontrol hukum melekat merupakan sumber utama penyimpangan dan korupsi penanganan perkara.
3. Konsentrasi Kewenangan dan Kerentanan Korupsi
Polri memegang monopoli kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan sebagian besar tindak pidana. Namun, posisi ini juga menempatkan institusi dalam hubungan yang rentan konflik kepentingan dengan sumber daya finansial pihak berperkara.
Menurut teori ekonomi kelembagaan (North, 1990), konsentrasi kewenangan tanpa sistem pengawasan independen adalah bentuk moral hazard struktural. Hasilnya adalah potensi penyimpangan seperti:
- Kriminalisasi terhadap pihak lemah,
- SP3 berbasis transaksi,
- Intervensi dalam penyidikan kasus yang melibatkan pihak berpengaruh.
Tanpa check and balance, kewenangan penyidikan mudah berubah menjadi monopoli kekuasaan yang dapat diperdagangkan.
4. Sistem Karier Tertutup: Meritokrasi yang Terkubur
Struktur karier Polri masih sangat hierarkis dan tertutup, dengan promosi jabatan bergantung kuat pada penilaian atasan. Dalam logika bureaucratic politics, sistem tertutup melahirkan ketergantungan pada jejaring patronase, praktik lobi, bahkan “setoran jabatan”.
Model seperti ini mematikan semangat meritokrasi dan profesionalisme. Padahal, sistem sumber daya manusia publik yang berkinerja tinggi membutuhkan promosi berbasis kompetensi, rekam jejak objektif, serta mekanisme penilaian yang transparan dan dapat diverifikasi.
Tanpa meritokrasi, reformasi SDM hanya akan menjadi slogan moral tanpa daya ubah institusional.
Menuju Kepolisian Demokratis
1. Pergeseran Paradigma: Dari Agen Kekuasaan ke Pelayan Warga
Reformasi sejati harus dimulai dari reposisi filosofis: polisi bukan alat kekuasaan, tetapi aparat publik yang tunduk pada hukum dan melayani warga.
Konsep democratic policing menekankan tiga prinsip utama:
- Accountability to law – Polisi tunduk pada hukum, bukan kekuasaan politik.
- Transparency – Prosedur penanganan perkara terbuka untuk pengawasan publik.
- Community-oriented policing – Polisi berfungsi sebagai mitra masyarakat, bukan pengendali masyarakat.
Pergeseran filosofis ini harus terintegrasi dalam setiap kebijakan, SOP, dan pendidikan kepolisian agar mandat konstitusional melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat benar-benar terlaksana.
2. Penguatan Pendidikan Hukum dan Profesionalisme
Reformasi kurikulum pendidikan Polri menjadi keharusan. Porsi hukum, HAM, logika investigasi, dan etika profesional perlu diperbesar secara signifikan. Setiap penyidik dan pejabat strategis wajib memiliki sertifikasi hukum.
Kemitraan dengan fakultas hukum, lembaga peradilan, dan lembaga profesional harus dijadikan bagian dari sistem pelatihan dan akreditasi.
Model global menunjukkan contoh konkret:
- Kepolisian Jepang menekankan pendidikan etika dan penyelesaian masalah berbasis kemanusiaan.
- Polisi Inggris (NPIA) menerapkan investigative professionalism dengan standar hukum dan audit publik yang ketat.
3. Rekrutmen dan Promosi Berbasis Data dan Kompetensi
Sistem karier Polri perlu dibuka melalui mekanisme digital-verifiable competency system. Setiap personel dinilai melalui rekam jejak digital yang mencatat secara permanen: kinerja penyidikan, penghargaan, pelanggaran etik, dan produktivitas.
Proses rekrutmen dan promosi jabatan harus berbasis kompetensi dan integritas terverifikasi, bukan kedekatan struktural.
Negara seperti Singapura menerapkan performance-based promotion system dengan kontrol publik, sementara Inggris memiliki College of Policing sebagai otoritas profesional independen.
4. Pengawasan Kewenangan Penyidikan dan Akuntabilitas Digital
Kewenangan luas penyidik harus diimbangi dengan multi-layer accountability:
- Pengawasan internal yang profesional dan bebas intervensi.
- Komisi independen eksternal model seperti Independent Police Complaints Commission (IPCC) di Inggris dengan wewenang menindaklanjuti keluhan publik.
Digitalisasi sistem penanganan perkara wajib diterapkan agar setiap tindakan penyidikan memiliki audit trail waktu dan otorisasi yang tidak bisa dihapus atau dimanipulasi.
Dengan begitu, diskresi tetap ada, tetapi tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang.
Penutup: Polisi Demokratis, Negara Beradab
Tanpa polisi yang demokratis, sistem peradilan kehilangan daya kerja; tanpa peradilan yang bekerja, hukum kehilangan legitimasi; tanpa hukum yang legitimate, negara kehilangan fondasinya.
Reformasi kepolisian bukan sekadar perbaikan teknis, melainkan rekonstruksi kekuasaan negara. Ia menuntut perubahan filosofi, penguatan kompetensi hukum, meritokrasi berbasis data, serta pengawasan independen yang efektif.
Hanya melalui kombinasi ini, Polri dapat berubah dari “aparat kekuasaan” menjadi institusi profesional yang sungguh melayani warga negara.










