KOTA BEKASI – Proses rekrutmen tenaga kerja di fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF) Unit Pengolahan Sampah Terpadu (UPST) DKI Jakarta di Sumurbatu, Bantargebang, seperti hantu datang tak terlihat, pergi tak terasa. Hingga membuat ratusan warga lokal memprotes sistem rekrutmen daring yang dianggap tak lebih dari “uji kesabaran warga terdampak bau sampah.”Rabu (16/7/2025).
Warga yang selama ini menghirup “parfum organik” dari tumpukan sampah kiriman ibu kota, merasa justru dijadikan penonton dari proyek besar yang berdiri di halaman rumah mereka. Aksi protes pun digelar lengkap dengan poster, orasi, dan ancaman serius: kalau tak dipekerjakan, fasilitas RDF bakal ditutup pakai tangan warga sendiri.
Menurut Koordinator Aksi, Haapy Haerul Saleh, sistem rekrutmen online tidak ubahnya sistem perekrutan “ghaib.”
“Tahu-tahu dapat email: Maaf Anda tidak diterima. Padahal kita belum pernah lihat tesnya. Interview juga nggak. Ini rekrutmen atau magic show?” sindir Haapy di tengah aksi.
Ia mengungkap bahwa warga sudah menempuh jalur diplomasi baik dengan pemerintah, wakil rakyat, bahkan dengan “angkatan-angkatan” mereka sendiri (apa pun itu maksudnya) namun hasilnya nihil. “Sekarang saatnya kami bersuara pakai toa, bukan surat permohonan,” ucapnya dengan nada geram dan sedikit drama.
Haapy menegaskan bahwa seharusnya warga Bantargebang dan sekitarnya menjadi prioritas dalam penerimaan tenaga kerja, sesuai perjanjian kerja sama antara Pemkot Bekasi dan Pemprov DKI Jakarta. Tapi, seperti biasa, perjanjian tertulis kalah pamor dibanding ‘jalur belakang.’
“Sudah ada yang kerja, dua minggu, tiga minggu, nggak digaji, lalu diberhentikan. Dibilang nanti dipanggil lagi. Tapi ternyata, yang dipanggil malah orang luar. Mungkin salah pencet,” ketus Haapy.
Ia menyebutkan ada sekitar 250 karyawan di RDF saat ini yang berasal dari luar wilayah Bantargebang. Warga lokal hanya jadi pemirsa di tanahnya sendiri. Ironis? Tentu saja. Lucu? Tergantung selera humor Anda.
“Kita Bukan Minta Jadi Direktur, Cuma Tukang Pilah Sampah”
Warga menilai persyaratan kerja terlalu tinggi untuk pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa pun yang “masih punya tenaga, napas, dan niat.” Ijazah tinggi, kata mereka, tak ada gunanya untuk memilah plastik dan organik.
“Kerjaan cuma nyortir sampah, kok minta pendidikan tinggi? Emangnya mau bikin roket dari plastik bekas?” ujar salah satu warga sambil tertawa getir.
Di tengah aroma khas sampah yang mereka hidupi sehari-hari, warga mengeluhkan dampak lingkungan yang ditanggung tanpa kompensasi jelas. “Air kami tercemar, udara kami wangi sisa konsumsi Jakarta, masa lowongan kerja juga disedot Jakarta semua?” tanya warga lain.
Dorong-dorongan dengan petugas terjadi, tapi seperti sinetron sore hari, adegan tegang segera mereda setelah para tokoh utama perwakilan warga, camat, lurah, hingga anggota DPRD masuk ke kantor RDF untuk mediasi.
“Kalau tuntutan nggak dikabulkan, fasilitas ini kita tutup pakai tangan kita sendiri. Harga mati,” ancam Haapy, kali ini tanpa humor.
Mediasi masih berlangsung hingga pukul 12.00 WIB. Massa tetap bertahan sambil mengipasi diri dengan selebaran tuntutan. Beberapa mulai gelisah, bukan karena panas, tapi karena takut mediasi berubah jadi rapat tanpa hasil seperti biasa.
Warga Bantargebang menunggu satu hal, keputusan masuk akal yang bukan hanya mengatasi bau, tapi juga menyebarkan rezeki secara adil. ***