LAMPUNG TIMUR — Rencana Pemerintah Kabupaten Lampung Timur menggelar Pagelaran Pengantin Nusantara (PPN) pada 10 Desember 2025 di GOR Bumei Tuah Beppadan – Islamic Center, memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Pasalnya, acara bertema pesta dan perayaan ini direncanakan berlangsung di tengah suasana duka nasional akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Tragedi Sumatera: Korban Hampir 1.000 Jiwa, Ratusan Masih Hilang
Bencana besar yang melanda tiga provinsi di Sumatera sejak akhir November telah menelan korban jiwa mencapai 974 orang.
Sebanyak 298 korban masih dalam pencarian, sementara lebih dari 10.957 orang telah dievakuasi dan 9.983 orang dinyatakan selamat menurut laporan Basarnas.
Angka tersebut menggambarkan situasi darurat yang semestinya menjadi fokus perhatian pemerintah daerah di seluruh Indonesia bukan malah sibuk menyiapkan karpet merah untuk sebuah pesta.
Penolakan keras datang dari Ridwan, Pemuda asal GSB, Sekampung Udik. Ia menilai Pemkab Lampung Timur telah gagal membaca rasa kebatinan masyarakat.
“Pesta Pagelaran Pengantin Nusantara harus dihentikan. Saudara-saudara kita di Padang, Sumut, dan Aceh sedang menangis. Banyak yang kehilangan keluarga, harta, rumah, masa pemerintah justru memoles panggung?” tegas Ridwan, Senin (8/12/2025).
Ia bahkan menyentil Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah.
“Di mana nuranimu, Bupati Lampung Timur? Orang lain sedang berduka, kita malah bikin pesta budaya. Itu bukan kearifan lokal, itu ketidakpekaan tingkat kabupaten.”tegasnya.
Pernyataan ini langsung mendapat dukungan warga, terutama setelah video promosi Wakil Bupati Azwar yang mengajak masyarakat “meramaikan acara spektakuler” beredar luas. Ironisnya, video itu diunggah di tengah kabar duka dari tiga wilayah Sumatera yang masih satu daratan dengan Lampung.
Desakan: Alihkan Anggaran Pesta ke Bantuan Kemanusiaan
Masyarakat mendesak agar anggaran PPN dialihkan sepenuhnya untuk bantuan korban bencana di Sumatera.
Bagi mereka, tidak ada urgensi menggelar pesta budaya saat ribuan orang sedang kehilangan tempat tinggal dan berjuang bertahan hidup.
“Jangan sampai Lampung Timur dikenal sebagai daerah yang pilih hiburan daripada kemanusiaan,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Desakan agar tragedi Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional semakin menguat, datang dari berbagai lembaga dan LBH se-Sumatera.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah justru dinilai perlu menunjukkan empati dan solidaritas bukan membangun panggung megah.
Warga kini menantikan sikap resmi Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Apakah mereka mendengar suara publik, atau tetap melaju dengan agenda pesta?
Yang jelas, situasi ini menjadi pengingat bahwa rasa kemanusiaan seharusnya tidak boleh kalah oleh kalender acara pemerintahan.***













