wawainews.ID, Jakarta – Terkait pesangon menjadi salah satu isu yang didorong kalangan pengusaha untuk merevisi Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 soal Ketenagakerjaan.
Pada pasal 156, UU No 13 tahun 2003 diatur berbagai besaran pesangon. Pengusaha menganggap kewajiban membayar pesangon yang diatur UU No 13 terlalu memberatkan.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bob Azzam mengungkapkan, saat ini perusahaan diwajibkan untuk membayar nominal pesangon sebesar 13 kali gaji untuk karyawan yang sudah bekerja selama 10 tahun, terdiri atas pesangon sebesar 9 kali gaji dan upah penghargaan sebesar 4 kali gaji.
“Bahkan dalam penetapan di Pengadilan Hubungan Industrial, seringkali jumlah itu dikali dua menjadi 26 kali gaji,” kata Bob Rabu (3/7/2019).
Sebagai perbandingan, lanjutnya, di negara-negara Eropa umumnya karyawan mendapatkan tiga kali gaji untuk masa kerja yang sama, dengan Spanyol memiliki kebijakan pesangon paling besar yang mencapai tujuh kali gaji.
“Jadi kalau misalnya diterapkan seperti itu [UU 13/2003], secara teknis pengusaha kita sudah bangkrut semua. Terus pesangon sebesar itu siapa yang menikmati?” imbuhnya.
Bob menjelaskan, regulasi seperti ini mengakibatkan perusahaan takut untuk berinvestasi di sektor industri formal dan memilih untuk berbisnis di sektor informal dengan menerapkan sistem outsourcing.
“Kita juga berharap perusahaan-perusahaan kita bisa masuk ke sektor formal, supaya dia ada akses ke perbankan, ada akses ke ekspor. Sekarang mau masuk sektor formal, regulasinya kayak begitu,” keluhnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani pernah mengusulkan adanya asuransi PHK (unemployment insurance) sebagai mekanisme bagi pengusaha untuk mencicil pesangon, tidak membayar secara keseluruhan langsung setelah PHK seperti diatur dalam UU saat ini. Tujuannya agar pengusaha tidak terbebani biaya yang besar dalam satu waktu.
“Selain jumlahnya, selama ini kan pembayaran pesangon itu langsung setelah retire. Kita usulkan ada unemployment insurance. Dengan kata lain, dicicil oleh pengusaha, supaya mereka tidak berat langsung harus membayar sebesar itu. Kalau ada unemployment insurance saya rasa bisa membantu,” kata Shinta dikutif dari CNBC Indonesia di kantornya beberapa waktu lalu.
Bob pun sependapat. Menurutnya, yang terpenting pesangon bisa dipakai oleh karyawan untuk menyambung hidup selama dia tidak bekerja serta bisa dipakai olehnya untuk mendapatkan pendidikan dalam rangka mencari pekerjaan baru.
“Itu prinsip pesangon. Sebenarnya idenya kan seperti itu [unemployment insurance]. Dulu kan dibuat seperti itu di tahun 2003 karena belum ada BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan. Sekarang kan sudah ada,” jelas dia.
“Jadi jangan sampai ada regulasi yang tidak bisa diimplementasikan. Buat apa?” imbuhnya.
Bob pun mengakui kalau selama ini UU Ketenagakerjaan tersebut sudah beberapa kali mengalami judicial review.
“Ya kan kita bisa maklumi lah karena itu dibuat tahun 2003. Sekarang sudah hampir 20 tahun masa ga ada transformasinya? Itu sebenarnya idenya.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ini meyakini, revisi UU Ketenagakerjaan bukan dalam rangka mengurangi kesejahteraan buruh, tapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan buruh dan serta menjaga keberlangsungan perusahaan.
“Karena perlindungan yang terbaik bagi buruh itu adalah pekerjaan, bukan perlindungan di atas kertas,” pungkasnya. (hoi/hoi)