JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), akui telah koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terkait urgensi revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Urgensi revisi UU SPPA ini berkaitan dengan tren peningkatan anak berkonflik dengan hukum (ABH) di tanah air. Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dhahana Putra rilis resmi pada 18 September 2024.
Dalam keterangan resminya, Dirjen HAM menyampaikan bahwa pada tanggal 30 Juli 2024 telah disampaikan surat dari Menteri KPPPA kepada Menkumham terkait penyampaian usulan Revisi RUU SPPA dalam Prolegnas RUU Jangka Menengah 2025-2029.
Usulan perubahan ini, dilakukan dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan pelaku anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, dan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
perubahan aturan ini diharapkan memberi kesempatan rehabilitasi yang efektif bagi ABH. Sejurus dengan itu, hak-hak korban dapat tetap terjaga.
Sebelumnya, Dhahana sempat menyoroti tren peningkatan kasus kekerasan yang melibatkan anak belakangan ini, terutama mengenai anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH. Ia mendesak agar revisi UU SPPA segera dilakukan.
Dengan adanya revisi UU SPPA, ia berharap dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang.
“Dengan penyesuaian ini, diharapkan anak yang terlibat dalam kejahatan mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga,” ujar Dhahana dalam keterangan resmi, Ahad, 15 September 2024.
Ia menjelaskan di Indonesia, restorative justice secara formil baru diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Secara formil, beleid tersebut adalah tonggak peradilan pidana Indonesia berparadigma restorative justice. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menyatakan sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak, belakangan menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif,” kata Dhahana.
Selain itu, UU SPPA juga memperkenalkan konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 ayat (1) UU SPPA menyebutkan, anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dengan ketentuan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Namun, mengingat tren peningkatan kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual oleh anak yang ancaman pidananya di atas 7 tahun, Dhahana menilai perlu melakukan penyesuaian terhadap UU SPPA. Sebab, diversi dalam UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.
“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai,” ujar Dhahana. ***