Bandung – Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya buka suara soal komponen gaji, tunjangan, hingga dana operasional Gubernur dan Wakil Gubernur. Penjelasan ini sekaligus menjawab rasa penasaran publik: sebetulnya berapa sih harga “satu paket” pejabat nomor satu dan dua di Jawa Barat?
Kepala Biro Administrasi Pimpinan Pemdaprov Jabar, Akhmad Taufiqurrahman, membeberkan bahwa total belanja gaji dan tunjangan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah per tahun mencapai Rp2,2 miliar.
Rinciannya? Ada gaji pokok Rp75,6 juta, tunjangan keluarga Rp9,8 juta, tunjangan jabatan Rp136,4 juta, dan tunjangan beras Rp7,1 juta. Ya, bahkan beras pun dianggarkan seolah-olah pejabat kita rawan lapar kalau tak disubsidi.
Tak ketinggalan ada tunjangan PPh Rp3,5 juta, tunjangan pembulatan gaji Rp1.600 (serius, satuan rupiah pun dihitung), iuran kesehatan Rp7,7 juta, iuran kecelakaan kerja Rp180 ribu, iuran kematian Rp560 ribu, plus bonus manis, insentif Rp1,97 miliar untuk pajak kendaraan bermotor.
Seolah-olah rakyat yang tiap tahun bayar pajak, sekaligus menyiapkan “hadiah” bagi yang menagihnya.
Namun angka-angka itu belum seberapa. Yang bikin mata melotot adalah Dana Operasional Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sebesar Rp28,8 miliar per tahun.
Akhmad menjelaskan angka ini hanya 0,15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Katanya sih estimasi, tapi untuk rakyat, estimasi ini sama artinya dengan “uang jalan” pejabat setara biaya membangun sekian ratus sekolah atau memperbaiki ribuan jalan bolong.
Angka Rp33,2 miliar dalam infografis resmi sempat membuat kaget, tapi Akhmad buru-buru meluruskan: “Seharusnya Rp31 miliar per tahun.” Entahlah, selisih Rp2,2 miliar ini di meja rakyat mungkin bisa jadi jatah beras sebulan untuk sekampung, tapi di meja birokrasi cuma soal salah ketik.
Dasar hukum semua fasilitas ini merujuk pada PP Nomor 109 Tahun 2000 dan turunannya. Aturan yang sudah puluhan tahun tak disentuh, namun masih jadi kitab suci untuk menghitung “hak keuangan” kepala daerah dari gaji, tunjangan, sampai status janda/duda bekas pejabat.
Ringkasnya, rakyat disuruh hemat, pejabat disuruh hitung tunjangan sampai butiran beras. Jika ada yang bertanya “kenapa gaji gubernur tak pernah ikut program efisiensi?”, jawabannya sederhana: karena efisiensi itu urusan rakyat, bukan pejabat.***