Scroll untuk baca artikel
Zona Bekasi

Rokok Ilegal di Bekasi Menggeliat, Pengawasan Bea Cukai Dipertanyakan?

×

Rokok Ilegal di Bekasi Menggeliat, Pengawasan Bea Cukai Dipertanyakan?

Sebarkan artikel ini
ilustrasi rokok (ist)

BEKASI Di tengah gencarnya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berkoar soal pemberantasan rokok ilegal, aroma tembakau tanpa cukai justru menguap bebas di wilayah yang tak jauh dari Monas: Kota Bekasi. Ironisnya, wilayah yang masuk radar ibu kota ini tampak masih nyaman menjadi “surga kecil” bagi peredaran rokok tanpa pita cukai.

“Coba Pak Menteri jangan jauh-jauh dulu ngomong soal daerah lain. Di Bekasi aja, rokok ilegal beredar kayak tahu bulat goreng dadakan, laku cepat,” sindir Ahmad Juaini, warga Pondok Gede, Bekasi, kepada Wawai News, Minggu (19/10/2025).

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ahmad bahkan menyelipkan peribahasa klasik yang kini terasa sangat aktual: semut di seberang laut tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. “Artinya, sebelum ngurus cukong di ujung negeri, lihat dulu yang ngetem di dekat istana,” ujarnya, setengah bercanda tapi penuh nada getir.

Menurut pantauan warga, peredaran rokok tanpa cukai di Bekasi tidak hanya marak, tapi juga sangat adaptif. Setiap bulan, seperti tren fesyen, selalu muncul merek baru yang seolah diluncurkan dari “pabrik bayangan”.

“Kalau beli di warung, harus pinter. Yang jaga warung biasanya selektif. Tapi bocah-bocah yang sering nongkrong tahu jalurnya. Tinggal bilang ‘rokok spesial’, pasti dikasih,” kata Ahmad.

Harga rokok ilegal ini pun bikin rokok legal seperti barang mewah. Misalnya, merek Geboy Variasi dijual Rp14–15 ribu per bungkus, dengan varian rasa mulai dari anggur clic sampai mint sensasi “merinding”.

Tak berhenti di situ, merek-merek lain pun ikut meramaikan pasar seperti merek Newcastle, Fantastik Mild, Albaik, Miki Strike, hingga Eees. Semuanya punya kesamaan, tanpa pita cukai dan tanpa rasa takut.

Di bagian belakang bungkus, hanya tertulis samar “Diproduksi oleh Geboy Indonesia” tanpa kode produksi atau alamat pabrik. Sebuah gaya misterius yang mungkin membuat Sherlock Holmes sekalipun menyerah.

Sementara itu, pemerintah sebenarnya sudah punya proyek besar bernama Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Kudus sejak 2023.

Kawasan ini digadang-gadang menjadi safe zone bagi industri kecil rokok agar legal tapi tetap kompetitif. Namun di lapangan, tampaknya justru muncul “KIHT bayangan” alias Kawasan Industri Hasil Tembakau Tanpa Pajak.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau, pemerintah ingin memusatkan industri kecil agar mudah diawasi. Tapi kalau melihat kondisi Bekasi, mungkin yang dipusatkan malah peredaran rokok ilegalnya.

Sementara Menteri Purbaya sibuk menyiapkan tim pemburu cukong di tingkat nasional, warga Bekasi hanya berharap satu hal jangan sampai operasi pemberantasan rokok ilegal cuma jadi wacana berasap tanpa bara.

Atau, kata Ahmad Juaini, “Kalau pemerintah masih pura-pura nggak tahu, jangan salahkan kalau rokok ilegal nanti malah punya influencer sendiri.”

Fenomena rokok ilegal di wilayah urban seperti Bekasi memperlihatkan ironi klasik: negara kehilangan pendapatan dari cukai, tapi masyarakat tetap bisa “menikmati” harga murah. Seperti biasa, yang paling diuntungkan bukan rakyat, tapi mereka yang hidup di balik asap cukong, bukan perokok.***

SHARE DISINI!