TANGGAMUS — Kalau uang bisa bicara, mungkin dana BUMDes Pekon Sri Kuncoro, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, sudah berteriak minta pulang. Pasalnya, dana sebesar Rp31 juta yang seharusnya berputar untuk ekonomi warga, justru “hilang arah” sejak tahun 2019 dan diduga digunakan untuk kepentingan pribadi oleh mantan Kepala Pekon (Kakon) Mulyono.
Kepala Pekon saat ini, Erwan Toni, sudah lama menahan sabar. Namun batas kesabaran juga ada tanggal kedaluwarsanya.
“Kami masih menunggu itikad baik dari mantan kakon Mulyono. Kalau memang masih merasa bagian dari masyarakat sini, ya kembalikan uang BUMDes itu! Dana itu bukan milik pribadi, tapi hak masyarakat,” tegas Erwan, Senin (3/11/2025).
Nada bicaranya tidak tinggi, tapi tegas seperti orang yang tidak mau lagi dibohongi janji. Ia menambahkan, dana BUMDes bersumber dari Dana Desa (DD) dan disalurkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat, bukan untuk “tambal sulam” kebutuhan pribadi.
“Dana itu uang negara, bukan warisan jabatan. Kalau dulu sudah dipakai, ya wajib dikembalikan. Jangan pura-pura lupa. Ingat, masyarakat punya memori panjang,” sindirnya.
Warga Tak Mau Lagi Jadi Penonton
Kaur Pemerintahan Pekon, Wahono, ikut bicara lantang. Menurutnya, warga Sri Kuncoro kini tak mau lagi jadi penonton dalam drama uang desa yang tak kunjung jelas.
“Kalau tidak ada niat baik, kami siap melapor ke aparat penegak hukum. Ini bukan ancaman, tapi pelajaran supaya tak ada lagi yang seenaknya makan uang rakyat,” katanya.
Wahono juga menyinggung Wawan, mantan bendahara pekon yang ikut terseret dalam penggunaan dana tersebut.
“Mereka berdua harus bertanggung jawab penuh. Kalau berani menikmati uangnya, harus berani menghadapi akibatnya,” ujarnya, kali ini tanpa basa-basi.
Inspektorat: Jangan Salah Kaprah, Dana BUMDes Itu Hibah, Bukan Pinjaman
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Inspektorat Kabupaten Tanggamus, Gustam Afriansyah, menegaskan posisi hukum dana tersebut.
“Penyertaan modal BUMDes itu hibah dari pemerintah pekon untuk masyarakat. Kalau kepala pekon meminjam, wajib dikembalikan. Tidak ada ceritanya uang itu jadi milik pribadi karena alasan kebutuhan pekon,” jelasnya.
Ia menambahkan, seluruh kebutuhan pemerintahan desa sudah dialokasikan dalam APBDes, jadi tidak ada alasan menggunakan dana usaha masyarakat untuk urusan birokrasi.
“Kalau terbukti disalahgunakan, bisa diproses secara pidana. Itu perbuatan melawan hukum,” tegasnya lagi.
Kasus di Sri Kuncoro adalah potret kecil tentang bagaimana uang desa bisa tersesat di tangan orang yang mestinya jadi penuntun. BUMDes seharusnya jadi mesin ekonomi, tapi kadang justru jadi mesin masalah terutama jika pengelolanya lupa bedakan mana amanah, mana kesempatan.
Kini masyarakat menunggu: apakah Mulyono akan mengembalikan dana itu dengan kesadaran moral, atau perlu “diantar balik” lewat jalur hukum?
Yang jelas, kata Erwan, “kami tidak mencari musuh, kami menagih tanggung jawab.” Dan di Sri Kuncoro, tanggung jawab yang belum ditepati kini rasanya lebih berisik daripada toa mushola.
(Ruslan – Wawai News) ***













