PKS masih sering dicurigai sejumlah pihak memiliki idiologi ganda. Internasionalisme dan nasionalisme. Berada di gray area. Eksistensinya rawan menjadi musuh bersama secara idiologis.
Kedua, reputasinya telah tercoreng oleh sejarah beragam kasus korupsi kadernya. Ketika PKS berada dalam kabinet pemerintahan SBY.
Eksistensi PKS sebagai oposisi akan rapuh. Selalu dieksploitasi dua kelemahan itu oleh publik. Menjadikannya sebagai musuh bersama.
Bagaimana dengan PDIP?
Kemunculan dan eksistensinya sebagai partai besar ditopang oleh dua hal. Pertama, glorifikasi ilusi kebobrokan orde baru.
Kenapa dikatakan ilusi?. Pada waktu belakangan banyak khalayak menyadari reformasi tidak lebih baik dari orde baru. Glorifikasi kebobrokan orde baru tidak akan mudah lagi masuk ke dalam ruang psikis publik sebagai isu menarik.
Kedua, glorikasi idiologi Soekarnoisme. Pada kenyataannya selama periode pemerintahan Presiden Megawati dan Presiden Joko Widodo gagal diejawantahkan dalam penyelesaian problem bangsa.
Sipadatan ligitan lepas, indosat lepas, korupsi marak. Pengemplang BLBI diberi status bebas. Dan masih banyak lagi.
Justru yang terjadi glorifikasi ilusi kejayaan dan kemashuran Presiden Soekarno. Satu isu yang tidak bersentuhan langsung menjawab problem bangsa itu. Kemiskinan, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, ancaman geopolitik dan seterusnya.
Sementara itu para kadernya banyak dililit kasus korupsi. Kasus OTT Bupati/Walikota banyak menyisir kader PDIP. Megawati sendiri sebagai tokoh kharismatis terakhir, juga sedang berada di ujung senja.
Para kader militan sudah dimanja kekuasaan selama satu dekade terakhir. Bisa diduga tidak lagi memiliki endurance bertempur di jalanan (di luar kekuasaan). Sebagaimana militansi kemunculannya dulu.
Perlu kekuatan civil society untuk mengontrol kekuasaan. Oposisi rasanya sulit diharapkan dari partai. Kecuali oposisi semu. ***