Scroll untuk baca artikel
Opini

Sebira versus Siberia: Catatan Untuk Anies Baswedan

×

Sebira versus Siberia: Catatan Untuk Anies Baswedan

Sebarkan artikel ini
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (foto_scn)
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (foto_scn)

Pikiran Anies, tentu layak untuk dibedah. Agar tidak bernasib buruk dengan pikiran Revolusi Mental. Merespon sebuah gagasan, apalagi yang dianggap berbasis pengalaman, dapat melahirkan pembaharuan atau penyempurnaan, sebelum menjadi acuan final sebagai platform politik. Untuk itu, ijinkanlah saya merspon pikiran Anies tersebut sebagai berikut, pertama soal ketimpangan sosial. Dalam menguraikan Pulau Sebira yang tertinggal, Anies tidak memperlihatkan relasi struktural antara segelintir oligarki dengan rakyat miskin di Indonesia.

Urusan pulau Sebira adalah urusan pelayanan negara terhadap rakyatnya. Sedangkan ketimpangan yang ada saat ini terjadi dimana segelintir elite pengusaha mengendalikan mayoritas aset/sumber kekayaan nasional. Ada, umpamanya, satu dunia usaha yang mengendalikan jutaan hektare lahan perkebunan, ketika rakyat kesulitan mendapatkan sedikitpun lahan untuk bertahan hidup. Ada segelintir pengusaha yang mengendalikan seluruh tanah-tanah strategis perkotaan. Ada segelintir orang yang mengendalikan minyak goreng, yang membuat rakyat pernah terbukti tidak berdaya mendapatkannya secara bermartabat.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

BACA JUGA: Benny BP2MI Minta Jokowi Tegakkan Hukum, Apa Presiden Berani?

Ada segelintir orang yang mengendalikan aliran modal pembiayaan usaha. Dan lain sebagainya. Struktur ini berkembang cukup lama, yang membuat kekayaan orang-orang kaya semakin kaya. Menurut Thomas Pikkety dan Professor Jeffrey Winters, pengali kekayaan mereka bersifat eksponensial. Bahkan, Jeffrey Winters dalam teorinya tentang oligarki, mereka ini kemudian menjadikan negara sebagai kaki tangan mereka.

Kedua tentang “Social Market Economy”. Konsep ini lahir di Jerman setelah Perang Dunia II. Wilhelm Ropke dan kawan-kawan yang menginisiasi “middle way” (fee.org/articles/the-german-economic-miracle-and-the-social-market-economy/amp), tidak berani mendorong “free market economy” secara utuh disana, dari “Planned Economy” Era Hitler, karena Jerman mengalami kehancuran sosial yang begitu dalam paska perang.

BACA JUGA :  Politik Perselingkuhan

BACA JUGA: Anies Urung Hadiri Muktamar Al-Isryad di Purwokerto. Kenapa?

Kehancuran sosial ini, dianggap sebuah kejahatan kaum oligarki di sana, yang bersekongkol dengan Nazi/Hitler. Sehingga, konsekuensinya, ketika ekonomi bangkit kembali, paska perang, pengaturan ekonomi menjadi keharusan di mana kepastian redistribusi dan co-determination dalam dunia usaha, antara buruh (kaum miskin) dan pengusaha, dijadikan prinsip berbangsa yang adil. Pengusaha tidak diberikan kesempatan mengatur seenaknya ekonomi nasional. Ini adalah “middle way”.

Apakah mungkin menjalankan “social market economy” jika tidak ada pengakuan kehancuran sosial di Indonesia? Apakah mungkin mengajukan prinsip “co-determination” antara kaum pengusaha dan kaum buruh, tanpa ada sebab yang memperlihatkan struktur ketimpangan kita adalah sebuah kejahatan terhadap konstitusi? Sebuah pengkhianatan? Apakah mungkin berbicara tentang redistribusi jika kerakusan oligarki dianggap legal? Tentu saja ini akan menjadi mimpi belaka. Sebab, merujuk pada situasi Jerman dahulu, memang pengusaha di sana mendukung Hitler membunuh jutaan manusia. Sehingga mereka merasa sebagai pengkhianat, setelah Hitler kalah.

BACA JUGA :  Kohesi Anies dan Partai Politik

BACA JUGA: Tercerabut dari Nilai Islam

Anies dapat saja mengasosiasikan prinsip-prinsip Social Market Economy dengan ekonomi kerakyatan yang digagas pendiri bangsa. Namun, keinginan itu bisa menjadi utopia, ketika rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk marah. Rakyat tidak bisa marah kalau mereka bepikir bahwa kemiskinan mereka terjadi sebagai hal yang natural saja. Dengan demikian, maka para pemimpin rakyat harus bisa memperlihatkan bahwa kaum oligarki selama ini telah menjadi penindas.