JAKARTA – Sejarah Indonesia kembali ditulis ulang. Kali ini bukan oleh satu dua sejarawan, melainkan oleh 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 lembaga non-akademik, dengan hasil akhir yang tak main-main: 7.958 halaman dalam 11 jilid. Beratnya bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara harfiah.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon secara resmi meluncurkan buku sejarah terbaru berjudul Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Minggu (14/12/2025). Buku ini menjadi bagian dari proyek besar penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas sejak Januari 2025.
Menurut Fadli, proyek ini dimaksudkan untuk memperkaya narasi sejarah bangsa agar tetap relevan di tengah arus globalisasi sebuah upaya agar sejarah Indonesia tidak hanya berhenti di masa lalu, tetapi juga mampu berdialog dengan masa kini.
Dalam sambutannya, Fadli menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah ini tidak memiliki kepentingan politik. Ia menyebut proyek tersebut murni demi kepentingan bangsa dan negara sebuah klaim yang sah, meski tak sepenuhnya menghentikan perdebatan publik.
“Kalau ada perbedaan pandangan, itu hal yang biasa dan harus diapresiasi sebagai bagian dari demokrasi kita,” ujar Fadli.
Ia pun mengingatkan agar kritik dilakukan setelah membaca keseluruhan isi buku, bukan hanya judul atau potongan pernyataan.
“Harus dibaca dulu sebelum berkomentar,” katanya sebuah imbauan yang cukup menantang, mengingat jumlah halamannya mendekati delapan ribu.
Fadli menjelaskan, penulisan ulang sejarah ini merupakan bentuk fasilitasi negara terhadap kerja-kerja kesejarahan, bukan intervensi isi. Menurutnya, sejarah adalah fondasi penting dalam menjaga memori kolektif bangsa.
“Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lalu bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa proyek ini digarap oleh Direktorat Sejarah Kementerian Kebudayaan, yang sebelumnya sempat mengalami masa vakum.
Fadli Zon mengaku ikut memperjuangkan kebangkitan kembali direktorat tersebut, terutama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, agar negara kembali hadir dalam mendukung penulisan sejarah nasional.
Prosesi peluncuran dilakukan bersama para penulis dan Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddian. Acara ditandai dengan penempelan puzzle peta Indonesia, sebuah simbol yang secara sadar atau tidak merepresentasikan kondisi sejarah itu sendiri: potongan-potongan narasi yang disusun ulang agar membentuk satu gambaran utuh.
Namun seperti puzzle pada umumnya, selalu ada bagian yang terasa pas, dan ada pula yang masih diperdebatkan letaknya.
Di luar ruang peluncuran, proyek ini masih menuai kritik tajam. PDI Perjuangan (PDIP) secara terbuka meminta pemerintah menghentikan penulisan ulang sejarah tersebut.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, My Esti Wijayati, menilai proyek ini telah menimbulkan kontroversi dan melukai banyak pihak.
“Kami meminta dengan tegas setop penulisan ini, karena sudah menimbulkan polemik dan melukai banyak orang,” ujarnya dalam pernyataan di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (30/6/2025).
Ia menyinggung pernyataan kontroversial Fadli Zon terkait peristiwa pemerkosaan massal 1998, serta mundurnya sejumlah sejarawan dari tim penulisan.
“Banyak sejarawan yang keluar dari tim penulisan. Itu menunjukkan ada persoalan serius di dalamnya,” kata My Esti.
Peluncuran Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global menandai babak baru dalam perdebatan penulisan sejarah nasional. Di satu sisi, ada upaya pembaruan narasi agar sejarah tidak beku. Di sisi lain, ada sensitivitas terhadap luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Pada akhirnya, sejarah memang bukan sekadar soal masa lalu, melainkan tentang siapa yang menulis, bagaimana menulis, dan untuk siapa ia ditulis. Dan seperti biasa, sejarah Indonesia kembali membuktikan satu hal: ia tak pernah benar-benar selesai hanya terus diperdebatkan.***






