Scroll untuk baca artikel
Head LinePendidikan

“Sekolah Hantu” Itu Masih Ada: SDN 1 GSB Hanya Dapat 5 Murid Baru, Gedungnya pun ‘Nyaris Rubuh’

×

“Sekolah Hantu” Itu Masih Ada: SDN 1 GSB Hanya Dapat 5 Murid Baru, Gedungnya pun ‘Nyaris Rubuh’

Sebarkan artikel ini
Kondisi SDN 1 GSB memprihatinkan gedung terancam roboh, ditinggal murid hanya dapat 5 siswa tahun ajaran baru 2026/2027- foto kolase jali

Oleh Tim WawaiNews – Lampung Timur

LAMPUNG TIMUR – Anda mungkin pernah dengar kisah sekolah zaman dulu yang ramai, penuh gelak tawa anak-anak, dan guru-guru berdedikasi tinggi. Tapi kisah SDN 1 Gunung Sugih Besar (GSB), Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur, justru seperti babak baru dari film horor, muridnya tinggal hitungan jari, gedungnya nyaris menyerah pada usia, dan masa depannya abu-abu pekat!

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tahun ajaran 2025/2026 ini, SDN 1 GSB hanya menerima 5 murid baru. Jumlah ini bahkan lebih sedikit dari pemain tim bulu tangkis ganda campuran. Jika tidak ada tindakan serius, bukan tidak mungkin sekolah ini akan benar-benar check out dari dunia pendidikan Indonesia.

“Tahun ini cuma 6-7 orang yang daftar. Tahun lalu 15. Tiap tahun makin nyusut, mirip rambut saya yang stress lihat keadaan sekolah,” ungkap seorang sumber kepada WawaiNews, Selasa, 15 Juli 2025.

BACA JUGA :  Pekan Depan, Bantuan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dicairkan

Mari kita bicara soal gedung. Jika Anda pernah ke sana, Anda pasti paham kenapa warga memilih menyekolahkan anaknya ke desa tetangga seperti Pugung Raharjo.

Gerbang SDN 1 GSB sudah miring ke kiri seperti pesilat gagal pemanasan. Pagar sekolah terlihat seperti habis dilindas longsor mini, dan ruang kelas? Jangan harap ada AC atau proyektor atapnya saja sudah seperti undangan kehancuran.

“Ruang kelas ada sembilan. Siswa cuma 96. Satu kelas rata-rata cuma 10 anak. Udah 6 tahun begini, tiap tahun muridnya ngga nambah,” ucap sumber lain, dengan nada getir.

Bisa dibayangkan, dengan populasi sekecil itu, bisa jadi di jam istirahat suasana sekolah lebih sepi dari warung kopi tengah hutan. Bahkan, konon katanya, kalau pengawas ujian datang, dia harus cek dua kali apakah ini sekolah sungguhan atau gudang barang bekas.

Dulu Berjaya, Kini Merana

Di masa kejayaannya sekitar tahun 2007, SDN 1 GSB dipimpin oleh sosok kepala sekolah legendaris bernama Pak Sugeng. Di bawah komandonya, jumlah siswa mencapai 750 lebih. Kini? Total murid kelas 1 sampai 6 saja tak sampai 100. Bukan karena anak-anak tak mau sekolah, tapi karena sekolahnya seperti enggan hidup.

BACA JUGA :  Operasi Modifikasi Cuaca di Jabar Diklaim Efektif

Warga menyayangkan perubahan drastis ini. Mereka menilai kepemimpinan sekolah saat ini kurang proaktif dalam sosialisasi dan menjaga warisan pendidikan. Kata mereka, kepala sekolah sekarang seperti pemain sinetron figuran ada, tapi tidak berkontribusi banyak.

“Setiap ganti kepala sekolah, bukan tambah bagus, malah tambah ‘gawat’. Kami juga lelah, Pak. Masa harus demo buat minta bangunan direnovasi?” keluh seorang warga.

Lebih menyakitkan lagi, saat WawaiNews mencoba menghubungi pihak kepala sekolah via WhatsApp, ternyata statusnya. tidak aktif. Entah karena sinyal, entah karena tak tahan baca keluhan.

Masyarakat GSB sejatinya tidak banyak menuntut. Mereka hanya ingin anak-anak mereka bisa sekolah di kampung sendiri. Ekonomi pas-pasan, ditambah minimnya akses transportasi, membuat menyekolahkan anak ke desa sebelah seperti mengantar mereka ke luar negeri biaya besar, perjuangan ekstra.

BACA JUGA :  Begini, Aturan Baru Penggunaan Seragam dan Atribut Sekolah

“Kami bukan tak mau sekolahin anak. Tapi kalau sekolahnya sendiri kayak mau ambruk, dan kepala sekolahnya juga ‘hilang sinyal’, masa kami harus ngungsi pendidikan ke kampung sebelah?” ujar warga lain dengan nada kesal dan pasrah.

Situasi ini bukan hanya potret satu sekolah yang nyaris mati, tapi cermin buram dunia pendidikan di pelosok negeri. SDN 1 GSB butuh bantuan. Segera.

Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Dinas Pendidikan Provinsi, hingga pusat harus tergerak. Ini bukan hanya soal gedung retak atau jumlah murid yang sedikit. Ini soal hak dasar anak-anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, aman, dan bermartabat.

Jika dibiarkan, SDN 1 GSB akan benar-benar tinggal nama. Dan generasi masa depan GSB? Bisa-bisa lebih kenal tik-tok daripada tik-tik suara kapur di papan tulis.***