BANDUNG — Kejaksaan Tinggi Jawa Barat resmi menahan mantan Sekretaris DPRD (Sekwan) Kabupaten Bekasi, R.A.S., dalam kasus dugaan skandal tunjangan dewan untuk perumahan pimpinan dan anggota DPRD tahun anggaran 2022–2024.
Penyidik menilai R.A.S. memiliki peran sentral dalam praktik “sulap angka” tunjangan yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp20 miliar.
Penahanan disampaikan Kepala Kejati Jabar melalui Aspidsus, Roy Rovalino, dalam konferensi pers di Bandung, Selasa (9/12/2025). Penetapan tersangka tertuang dalam TAP-161/M.2/Fd.2/12/2025, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan sebelumnya.
Kasus ini bermula pada 2022 ketika DPRD Kabupaten Bekasi mengusulkan kenaikan tunjangan perumahan. Sebagai Sekwan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), R.A.S. menunjuk KJPP Antonius untuk menghitung nilai tunjangan secara resmi.
Nilai yang keluar dari penilaian profesional:
- Ketua DPRD: Rp42,8 juta
- Wakil Ketua: Rp30,35 juta
- Anggota DPRD: Rp19,806 juta
Namun hasil itu ditolak oleh pimpinan dan anggota DPRD. Penyidik menemukan bahwa angka baru untuk Wakil Ketua dan anggota DPRD dibuat sendiri oleh unsur pimpinan dewan dipimpin oleh S, Wakil Ketua DPRD kala itu tanpa proses appraisal ulang. Alias, nilai tunjangan “lahir kembali” tanpa melibatkan penilai publik sebagaimana diwajibkan PMK 101/2014.
Sebuah modus sederhana namun efektif: jika appraisal tidak sesuai harapan, cukup bikin versi sendiri.
Menurut penyidik, R.A.S. berperan besar dalam memuluskan skema tersebut. Sebagai PPK, ia memfasilitasi perubahan nilai tanpa proses resmi dan tetap mengesahkan pencairan anggaran.
“Semua proses administrasi dan pencairan berada di bawah kendali Sekwan. Tanpa tandatangan dan verifikasi yang bersangkutan, pembayaran tidak bisa dilakukan,” tegas Aspidsus Roy.
Hasilnya: selama 2022–2024, selisih antara angka appraisal resmi dan angka versi DPRD menyebabkan kerugian negara mencapai Rp20 miliar.
R.A.S. kemudian ditahan di Rutan Kebon Waru selama 20 hari, 9–28 Desember 2025.
Tersangka Lain Tidak Ditahan Karena Sudah Ditahan
Sementara itu, S, Wakil Ketua DPRD periode 2022–2024, juga ditetapkan sebagai tersangka namun tidak ditahan bukan karena pertimbangan khusus, melainkan karena ia sudah menjalani pidana di Lapas Sukamiskin.
Penetapan tersangka tersebut adalah ironi tersendiri tersangka korupsi baru yang tidak perlu dibawa ke rutan, karena sudah berada di rutan lain.
Keduanya dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor serta Pasal 55 dan 56 KUHP. Ancaman hukumannya tidak ringan jauh lebih berat daripada beban moral publik yang sudah terlalu sering dikhianati.
Kejati Jabar memastikan penyidikan masih terus berlanjut. Struktur pengambilan keputusan tunjangan melibatkan banyak pihak, sehingga potensi tersangka baru sangat terbuka.
“Penyidikan belum selesai. Pengembangan masih berlangsung,” kata Roy.
Kasus tunjangan perumahan ini menjadi salah satu perkara korupsi anggaran DPRD terbesar di Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir. Bukan hanya nilai kerugian yang besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana mekanisme formal dapat “dipatahkan” oleh kesepakatan informal dan tanda tangan strategis.
Penyidik kini menelusuri apakah ada pihak lain yang ikut menikmati kenaikan tunjangan yang ditetapkan di luar ketentuan appraisal resmi. Publik pun menunggu: apakah kasus ini berhenti pada dua nama, atau daftar tersangka akan bertambah panjang seperti lembaran absensi rapat paripurna.***













