Jakarta – Ada kalanya sebuah surat mampu menembus protokol istana, bukan karena amplopnya berhias lambang negara, melainkan karena isinya membawa kejujuran yang kini semakin langka.
Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal dengan gaya tegas dan nasionalismenya, menerima sepucuk surat istimewa dari seorang siswa Sekolah Rakyat. Bukan surat politik, bukan pula surat undangan, tapi sepucuk pesan polos dari seorang anak bangsa yang belajar berterima kasih.
Dalam keterangan tertulis yang dirilis Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya pada Jumat, 24 Oktober 2025, disebutkan bahwa surat sederhana namun menyentuh hati itu ditulis tangan oleh Muhammad Daffa Raasyid, siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama II Bandung Barat. Kertasnya mungkin tipis, tapi maknanya tebal karena ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
“Sebuah titipan surat. Selembar kertas yang penuh makna. Dari Muhammad Daffa Raasyid, seorang siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama II Bandung Barat, untuk Presiden Prabowo,” tulis Teddy dalam keterangannya.
Dalam suratnya, Daffa menulis dengan ejaan yang masih lugu, tapi sarat ketulusan. Ia mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo atas kehadiran Sekolah Rakyat, program pendidikan inklusif yang membuka ruang belajar bagi anak-anak yang sempat terpinggirkan oleh sistem formal.
Bagi Daffa, Sekolah Rakyat bukan sekadar bangunan tempat belajar, tapi “jalan pulang” bagi cita-cita yang sempat tersesat di antara keterbatasan ekonomi dan jarak sosial.
“Terima kasih, Pak Presiden, karena saya bisa sekolah lagi. Saya ingin jadi anak yang kreatif, cerdas, dan bisa memimpin seperti Bapak,” tulis Daffa dalam penggalan suratnya.
Surat itu mungkin hanya selembar, tapi bagi Prabowo dan tim Istana, ia bisa menjadi laporan kemajuan yang lebih berharga dari setumpuk data statistik. Karena di balik kata “terima kasih”, terselip pengakuan diam-diam bahwa kebijakan pendidikan yang berpihak masih punya arti di tengah era kompetisi tanpa arah.
Program Sekolah Rakyat sendiri merupakan bagian dari kebijakan pemerataan akses pendidikan yang didorong pemerintahan Prabowo-Gibran. Konsepnya sederhana membawa pendidikan ke rakyat, bukan rakyat yang harus mengejar pendidikan.
Filosofi ini terasa klasik, tapi justru relevan di tengah zaman di mana gawai lebih cepat dari guru dan perhatian publik lebih pendek dari masa aktif pulsa.
Tentu, akan selalu ada yang sinis. Sebagian mungkin menilai surat itu terlalu “manis” untuk jadi spontan. Namun, dalam politik yang sering pahit, barangkali tak salah jika kita percaya bahwa satu anak bernama Daffa benar-benar menulis dari hati. Karena tak semua hal yang menyentuh harus dicurigai, dan tak semua yang polos harus dipolitisasi.
Surat kecil itu kini jadi pengingat besar: bahwa kebijakan bukan hanya tentang angka di RAPBN, tapi tentang rasa yang sampai ke meja Presiden lewat tulisan tangan seorang murid Sekolah Rakyat.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, Daffa akan menulis surat lagi bukan untuk berterima kasih, tapi untuk memberi laporan sebagai pemimpin muda yang lahir dari ruang belajar rakyat yang pernah ia banggakan.













