WAWAINEWS.ID – Di sudut utara Kabupaten Bekasi, terdapat sebuah kampung kecil bernama Kampung Buni Pasar Emas atau dikenal sebagai Situs Buni, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan, terbentang jejak peradaban manusia yang nyaris hilang dari ingatan bangsa.
Desa ini menyimpan jejak panjang sejarah yang begitu berharga, tapi ironisnya, nyaris terlupakan. Seperti debu yang tersapu angin, Situs Buni, nama yang diberikan oleh para arkeolog nasional pada 1960-an, perlahan memudar dari ingatan kolektif, terutama dari perhatian pemerintah yang seharusnya menjaga dan merawatnya.
Tempat yang tenang ini, yang hanya dikenal sebagian kecil orang, ternyata menyimpan rahasia masa lalu yang luar biasa penting. Situs Buni, saksi bisu sejarah panjang manusia dari zaman neolitik hingga masa perundagian.
Situs ini bukanlah cerita dongeng atau kisah rakyat tanpa dasar. Pada tahun 2016, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional yang terdiri dari arkeolog ternama seperti Dr. Hasan Dja’far dan Drs. Soeroso, M.Hum, bersama arsitek budaya Bambang Eryudhawan, telah menyatakan Kampung Buni Pasar Emas layak menjadi situs cagar budaya nasional.
Mereka telah melakukan kajian ilmiah dan menyampaikan rekomendasi resmi kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Namun, hampir satu dekade berlalu, tak satu pun keputusan resmi keluar. Tak ada plakat penetapan, tak ada perlindungan, dan tak ada langkah konkret untuk merawatnya.
Padahal, sesuai Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, pemerintah daerah wajib menetapkan situs sebagai cagar budaya paling lambat 30 hari setelah menerima rekomendasi tim ahli. Di Bekasi, waktu seolah membeku dan situs ini pun ditinggalkan oleh kebijakan.
“Kami Menjaga, Pemerintah Melupakan”
Di antara reruntuhan gerabah, tulang belulang, dan serpihan masa silam, seorang tokoh masyarakat berusia 70 tahun, Naryo, terus bersuara. Ia adalah penjaga ingatan kolektif warga Kampung Buni.
“Sejak kecil saya sudah tahu di sini ada banyak peninggalan. Tapi pemerintah? Sampai hari ini belum ada satu pun surat keputusan penetapan. Seolah kami di sini tidak pernah ada,” ujarnya dengan nada lirih, bercampur kecewa.
Naryo mengenang masa-masa ketika warga menggali tanah mencari emas, tanpa tahu bahwa yang mereka rusak adalah makam-makam kuno, jejak kehidupan ribuan tahun silam. Pada tahun 1960-an, larangan pun akhirnya dikeluarkan oleh pihak militer karena penggalian liar merusak lahan warga.
Kini, benda-benda bersejarah seperti gerabah, manik-manik, bahkan sisa tulang manusia, tersimpan seadanya di rumah warga. Di antaranya milik Atikah, penjaga budaya yang dengan penuh tanggung jawab menyimpan koleksi peninggalan sejarah di rumahnya.
“Pemerintah pernah datang, tapi bukan untuk menetapkan situs. Mereka malah ambil koleksi saya, katanya untuk Gedung Juang di Tambun. Lalu kami ditinggalkan lagi,” ungkap Atikah, matanya menerawang kosong.
Mimpi yang Belum Jadi Nyata
Jika pemerintah mau melihat lebih dekat, Situs Buni punya potensi luar biasa, tidak hanya sebagai kawasan cagar budaya, tapi juga sebagai museum lapangan yang bisa mendidik, menarik wisatawan, sekaligus menjaga identitas lokal.
Nama “Museum Budaya Buni” bahkan sudah diusulkan oleh warga. Mereka bermimpi, benda-benda sejarah itu ditempatkan secara layak, dicatat, dideskripsikan, dan dijaga dalam ruang khusus.
“Bayangkan jika anak-anak kita tahu bahwa Bekasi bukan hanya tentang kawasan industri, tapi juga tentang awal peradaban manusia. Bangga rasanya,” tutur Naryo.
Sayangnya, kebanggaan itu masih terganjal ketidakpedulian. Situs Buni tak dijaga, tak ditetapkan, dan lambat laun bisa hilang, bukan karena waktu, tapi karena abai.
Kita Butuh Ingatan
Lebih dari sekadar artefak, Situs Buni adalah cermin siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah fragmen sejarah yang menolak dilupakan. Jika kita gagal menjaga warisan ini, maka kita juga gagal menjaga jati diri.
Pemerintah Kabupaten Bekasi punya tanggung jawab, bukan hanya kepada undang-undang, tapi kepada sejarah. Sebab sejarah bukan hanya milik masa lalu, tapi warisan untuk masa depan.
“Yang kami minta sederhana. Tetapkan, jaga, dan rawat situs ini. Itu saja,” pungkas Naryo, suaranya serak tapi tegas. ***