JAKARTA – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali masuk pusaran konflik internal setelah Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas resmi menandatangani Surat Keputusan (SK) yang mengesahkan Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum DPP PPP periode 2025–2030 dengan Imam Fauzan Amir Uskara sebagai Sekjen.
Namun, keputusan itu justru disambut gelombang penolakan keras dari jajaran pengurus senior PPP. Mereka menilai SK tersebut cacat hukum, tidak memenuhi syarat formal, dan bahkan mengabaikan suara para ulama serta keputusan muktamar.
Kubu Senior: SK Menkum “Cacat Hukum, Cacat Moral”
Penolakan disuarakan langsung oleh tokoh-tokoh tua PPP: Ketua Majelis Pertimbangan Romahurmuziy, Ketua Majelis Kehormatan KH Zarkasih Nur, Ketua Majelis Syariah KH Mustafa Aqil Siraj, serta Ketua Majelis Pakar Prijono Tjiptoherijanto.
Menurut mereka, SK Menkum bertentangan dengan Permenkumham No. 34/2017, karena tidak dilengkapi dokumen kunci: Surat Keterangan Tidak Dalam Perselisihan Internal dari Mahkamah Partai.
“Kami sudah konfirmasi, Mahkamah Partai tidak pernah mengeluarkan surat itu. Artinya SK Menkum ini tidak sah, cacat hukum, dan berpotensi batal demi hukum,” tegas KH Zarkasih Nur, Kamis (2/10/2025).
Mereka juga menyebut klaim aklamasi Mardiono di Muktamar X hanyalah “narasi setengah matang.” Faktanya, sidang pleno yang dipimpin Amir Uskara kala itu dipenuhi interupsi, bahkan ditinggalkan pimpinan sidang.
“Secara konstitusional, muktamirin telah memilih Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum. Jadi siapa yang aklamasi itu?” sindir Romahurmuziy.
Selain itu, SK Menkum juga dianggap bertolak belakang dengan keputusan Silaturahmi Nasional Ulama PPP di Ponpes KHAS Kempek, Cirebon, 8 September 2025, yang secara terbuka menolak perpanjangan kepemimpinan Mardiono.
Mardiono: “PPP Itu Keluarga, Tidak Akan Gugat”
Berbeda 180 derajat, Mardiono tampil percaya diri. Ia meyakini kubu Agus tidak akan membawa masalah ini ke pengadilan.
“InsyaAllah tidak ada gugatan. Karena kita semua satu keluarga besar PPP. Kita berkumpul untuk menjaga demokrasi, membangun persatuan, dan mengawal pemerintahan Prabowo–Gibran,” ucapnya di kawasan Permata Hijau, Kamis (2/10/2025) malam.
Mardiono juga membuka pintu bagi semua kader, termasuk kubu Agus, untuk kembali “berpelukan” di bawah satu bendera.
Menkum Bungkam Soal Surat Mahkamah Partai
Sementara itu, Menkumham Supratman Andi Agtas mengaku telah menandatangani langsung SK kepengurusan kubu Mardiono pada 30 September 2025, setelah menerima pendaftaran resmi. Ia menegaskan dasar keputusannya adalah AD/ART hasil Muktamar IX PPP di Makassar 2020 yang dinilai belum berubah.
Namun, ketika ditanya soal surat rekomendasi Mahkamah Partai yang dipersoalkan kubu senior, Supratman justru mengaku “tidak tahu detail.”
“Apakah sudah lengkap atau belum, saya serahkan ke jajaran teknis di Kemenkum. Yang jelas saya sudah tandatangani,” kata Supratman.
Pernyataan itu semakin mempertebal kecurigaan adanya kelalaian administratif, bahkan potensi maladministrasi dalam penerbitan SK.
PPP Terancam Dualisme Jilid Baru
Kondisi ini menandai kembalinya PPP pada pola lama: dualisme kepemimpinan. Baik kubu Agus maupun kubu Mardiono sama-sama mengklaim menang aklamasi dalam Muktamar X di Ancol, Jakarta, 27 September 2025 sebuah forum yang berakhir ricuh dengan lempar kursi.
Kini, PPP praktis memiliki dua ketua umum yang sama-sama mengklaim sah, dua SK pendaftaran yang sama-sama dikirim ke Kemenkum, dan satu menteri yang tampak kebingungan menjawab dokumen mana yang legal.
Kisruh ini seakan menegaskan “tradisi pecah belah” PPP yang hampir selalu terjadi setiap kali memasuki periode politik strategis. Bedanya kali ini, kubu senior membawa senjata hukum yang cukup tajam—yaitu ketiadaan surat Mahkamah Partai yang bisa menjatuhkan legitimasi SK Menkum.
Sementara Mardiono mengandalkan pendekatan politik: narasi keluarga besar, janji persatuan, dan kedekatan dengan pemerintahan pusat.
Bagi publik, fenomena ini bukan lagi soal siapa yang memimpin PPP, melainkan soal konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum dan tata kelola partai politik. Jika SK yang cacat dibiarkan, maka PPP bukan hanya terbelah dua, melainkan terancam kehilangan marwah di mata konstituen.***