TANGGAMUS — Upaya jurnalis untuk meliput proyek revitalisasi Rp1,176 miliar di SMAN 1 Semaka kembali dihadang. Bukan oleh kabut, bukan oleh pagar terkunci, tetapi oleh aturan baru yang tiba-tiba turun dari langit atau lebih tepatnya dari Kepala Sekolah, Rudi.
Tiga wartawan media online ditahan di pintu gerbang oleh tiga sekuriti sekolah. Alasannya sederhana tapi absurd: wartawan dilarang masuk tanpa izin khusus kepala sekolah.
Izin yang, tentu saja, tidak pernah bisa didapatkan karena sang kepala sekolah cenderung lebih sibuk menghilang dibanding menjelaskan.
Aturan Baru: “Larangan Meliput” yang Disampaikan Secara Lisan Lewat Satpam
Tiga satpam yang berjaga kompak menyampaikan peraturan terbaru: “Mulai sekarang dilarang meliput dan mengambil foto tanpa izin kepala sekolah,” ujar salah satu sekuriti kepada wartawan.
Aturan itu tidak tertulis, tidak diumumkan secara resmi, dan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya. Namun langsung diberlakukan sebagai hukum tertinggi di lingkungan sekolah.
Satpam bernama Mansur, yang tampak lebih bingung daripada tegas, mengakui aturan ini sepenuhnya perintah kepala sekolah.
“Ini perintah Pak Rudi. Kami hanya menjalankan tugas. Atasan kami yang suruh,” kata Mansur.
Yang lebih menarik, Mansur juga menambahkan syarat baru:“Kalau mau liputan harus ada surat tugas dari pihak sekolah.”
Dengan kata lain, jurnalis hanya boleh meliput jika sekolah memberikan izin untuk diliput sekolah sebuah logika lingkaran yang biasanya muncul dalam komedi birokrasi, bukan lembaga pendidikan.
Mengapa Tiba-Tiba Ada Larangan?
Larangan mendadak ini muncul tepat saat proyek revitalisasi sekolah senilai Rp1,176 miliar sedang ramai disorot publik dan media.
Proyek tersebut meliputi:
- Rehabilitasi ruang administrasi setengah miliar rupiah,
- Rehabilitasi berbagai ruang kelas,
- Dan yang paling kontroversial: pembangunan dua toilet senilai Rp177 juta.
Dua toilet yang, menurut warga, belum jelas bentuknya, namun jelas menimbulkan banyak tanda tanya.
Transparansi Menghilang Ketika Anggarannya Disorot
Publik dan media mencoba melakukan tugasnya:
- mengecek progres pembangunan,
- memotret kondisi lapangan,
- mewawancarai pihak sekolah,
- memastikan uang negara digunakan sesuai aturan.
Namun yang mereka dapat justru aturan dadakan, blokade satpam, dan kepala sekolah yang menolak memberikan klarifikasi.
Dalam dunia transparansi publik, itu disebut:
“indikator resistensi.”
Dalam dunia satir:
“pintu gerbang lebih mudah dibuka daripada mulut pejabatnya.”
Swakelola Tapi Tertutup? Aneh.
Proyek ini dilakukan dengan skema swakelola, yang menurut Juknis harus:
- transparan,
- melibatkan masyarakat,
- melibatkan komite sekolah,
- dan terbuka pada pengawasan publik.
Namun yang terjadi justru sebaliknya:
akses dikunci, informasi ditutup, jurnalis dihadang.
Jika swakelola benar-benar dikelola secara baik dan sesuai aturan,
mengapa sekolah begitu defensif?
Pertanyaan yang Harus Dijawab Kepala Sekolah Rudi
- Mengapa wartawan dilarang masuk?
- Mengapa larangan hanya disampaikan secara lisan melalui satpam?
- Apa yang membuat pengambilan gambar proyek menjadi ancaman?
- Apa alasan proyek revitalisasi Rp1,176 miliar ini tidak boleh dipantau publik?
- Apakah laporan ke dinas dan Ditjen sesuai aturan swakelola?
- Mengapa warga sekitar mengaku tidak dilibatkan dalam proyek yang seharusnya berbasis pemberdayaan masyarakat?
- Dan yang paling penting: apa yang sebenarnya ingin disembunyikan?
Karena jika semuanya beres, pintu sekolah tidak perlu dijaga seperti pintu markas rahasia.
SMAN 1 Semaka seharusnya menjadi ruang belajar, bukan ruang gelap. Proyek revitalisasi semestinya meningkatkan mutu sekolah, bukan meningkatkan kecurigaan publik.
Dan ketika jurnalis dilarang masuk, ketika informasi ditutup, ketika proyek besar dibungkam dari pantauan, maka yang muncul bukan kepercayaan melainkan tanda bahaya.
Karena dalam proses pengawasan publik, yang takut diawasi biasanya bukan mereka yang bekerja dengan benar.***












