Scroll untuk baca artikel
Opini

Soeharto Pahlawan, Aktivis 98 Jadi “Penjahat”?

×

Soeharto Pahlawan, Aktivis 98 Jadi “Penjahat”?

Sebarkan artikel ini
Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI (Purn) H.M. Soeharto

Refleksi atas Paradoks Reformasi dan Rehabilitasi Politik Sejarah

Catatan Abdul Rohman Sukardi

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

WAWAINEWS.ID – Kemarin, 10 November 2025, sejarah kembali berbelok arah. Presiden Ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar Soeharto, resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan dilakukan di Istana Negara oleh Presiden Prabowo Subianto, menandai momen simbolik yang segera mengundang pro dan kontra di ruang publik.

Sebuah survei dari KedaiKOPI menunjukkan, 80,7 persen masyarakat Indonesia mendukung gelar pahlawan bagi Soeharto, sementara 15,7 persen menolak. Angka itu menunjukkan mayoritas publik menerima Soeharto sebagai bagian dari sejarah kebangsaan yang patut diakui jasanya—meski tidak semua sepakat dengan cara dan warisannya.

Namun, di tengah dukungan itu muncul narasi tandingan: “Jika Soeharto kini pahlawan, maka aktivis 1998 yang menumbangkannya adalah penjahat.”

Narasi ini, seolah sederhana, sesungguhnya berlapis motif. Ia digunakan sebagian pihak untuk menggiring opini publik agar menolak gelar tersebut. Tetapi ironi sejarah justru berbicara lain: masyarakat kini tak sepenuhnya melihat aktivis 1998 sebagai pahlawan reformasi, melainkan sebagian di antara mereka sebagai bagian dari elite baru yang ikut menjerumuskan cita-cita reformasi.

BACA JUGA :  Titiek Soeharto, Mafia Pangan dan Cundrik Mataram

Dari Gerakan ke Kekuasaan: Aktivis yang Terkooptasi

Setelah reformasi 1998 membuka ruang demokrasi, banyak eks-aktivis bergeser ke lingkar kekuasaan. Mereka duduk di parlemen, birokrasi, bahkan memimpin lembaga negara.
Namun, di sinilah paradoks reformasi mulai tampak.

UU dan kebijakan ekonomi yang membuka liberalisasi pasar terus dilanjutkan. Penetrasi modal asing semakin dalam, bahkan melebihi era Orde Baru. Sektor strategis negara dijual melalui privatisasi dan deregulasi, dengan minim akuntabilitas publik.

Kasus BLBI dan SKL obligor BDNI menjadi simbol kontradiksi. Audit BPK mencatat kerugian Rp 4,58 triliun hanya dari satu entitas, dan total kerugian negara menembus Rp 109 triliun. Ironisnya, sebagian tokoh reformasi di pemerintahan justru diam, bahkan ikut mengelola sistem yang mereka dulu kritik habis-habisan.

Fenomena ini menunjukkan gejala klasik elite capture di mana gerakan moral yang masuk ke dalam sistem politik akhirnya diserap, kehilangan daya kritis, dan menyesuaikan diri dengan logika kekuasaan lama.
Dalam istilah teori politik, inilah bentuk political co-optation dan institutional inertia: sistem lama bertahan karena para pembaharu ikut larut di dalamnya.

Dari “Anti-KKN” ke Kenyamanan Kekuasaan

Dulu mereka berteriak menuntut anti-KKN, transparansi, dan demokratisasi.
Kini sebagian dari mereka justru menikmati kenyamanan dalam sistem yang mereka kritik. Jabatan publik dijadikan tiket ekonomi dan politik, sementara idealisme diredam oleh kalkulasi elektoral.

BACA JUGA :  Pencabutan Tap MPR: Jadi Bingkai Rekonsiliasi Nasional?

UU perampasan aset tersendat. Politik dinasti dipoles dengan narasi meritokrasi. Dan sebagian mantan aktivis 98 kini menjadi penjaga status quo baru.

Kekuasaan yang dulu ingin mereka reformasi kini mereka rawat, bahkan dengan cara yang lebih lihai.
Dalam bahasa yang lebih jujur: reformasi berubah menjadi profesi.

Soeharto dan Ironi Sejarah

Pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto memang sarat simbol politik. Namun, reaksi publik menunjukkan bahwa bangsa ini mulai memandang sejarah lebih kompleks daripada sekadar hitam dan putih.

Mereka yang menolak Soeharto umumnya menyoroti pelanggaran HAM, korupsi, dan represi politik. Tetapi, banyak pula yang mengakui perannya dalam stabilisasi ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan kedaulatan pangan.

Sebaliknya, banyak aktivis 1998 yang kini justru dipertanyakan konsistensinya.
Bukan karena gelar pahlawan Soeharto, melainkan karena mereka sendiri mengkhianati nilai reformasi: menegakkan keadilan, melawan korupsi, dan memperjuangkan kedaulatan rakyat.

Dengan kata lain, yang membuat aktivis 98 terlihat “penjahat” bukan sejarah, tetapi perilaku mereka pasca-reformasi.

Refleksi: Pahlawan dan Penjahat Tak Pernah Permanen

Reformasi 1998 lahir untuk membebaskan bangsa dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun dua dekade kemudian, praktik serupa tetap berlangsung dengan wajah baru.
Reformasi gagal bukan karena Soeharto kembali diagungkan, melainkan karena para pewaris reformasi gagal menepati janji sejarahnya.

BACA JUGA :  Puasa Pembebasan

Maka, memberi gelar Pahlawan bagi Soeharto bukan berarti meniadakan dosa sejarah. Tetapi pengingat bahwa pahlawan dan penjahat tidak ditentukan oleh momen, melainkan oleh konsistensi moral.

Aktivis yang dulu menumbangkan kekuasaan, tetapi kini menikmati privilese kekuasaan, mungkin perlu berkaca:
Apakah reformasi benar-benar mereka perjuangkan untuk rakyat, atau hanya untuk membuka jalan menuju kursi kekuasaan?

Penutup: Konsistensi sebagai Benteng Reformasi

Kontroversi Soeharto bukan soal benar atau salah, tetapi soal keberanian bangsa menghadapi kenyataan sejarah tanpa histeria moral.
Karena dalam politik, waktu bisa merehabilitasi nama, tetapi tidak bisa menghapus jejak perilaku.

Soeharto mungkin kini disebut pahlawan.
Tapi yang lebih penting: apakah para aktivis reformasi masih berani hidup sebagai pejuang, bukan penikmat hasil perjuangan?

Reformasi bukan hanya tentang menjatuhkan rezim lama, tetapi menolak menjadi rezim baru dengan kesalahan yang sama.

Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Abdul Rohman Sukardi
(rohmanfth@gmail.com).***