KOTA BEKASI — Surat Peringatan (SP) ke-2 yang dikeluarkan Kelurahan Bekasijaya kepada warga RW 02 Bekasi Mede menuai protes dari masyarakat dan aktivis.
Surat tersebut memerintahkan warga membongkar bangunan yang dianggap berdiri di atas lahan fasum, fasos, dan garis sepadan sungai dalam waktu lima hari.
Langkah kelurahan itu dinilai terburu-buru, tanpa dasar hukum yang jelas, dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
“Kami tidak anti penertiban. Tapi kalau kelurahan langsung mengeluarkan SP pembongkaran tanpa proses dialog dan sosialisasi, itu salah,” kata Ali, Tokoh Pemuda Kota Bekasi.
Ali menilai urusan penertiban bukan kewenangan kelurahan. “Itu tugas Satpol PP atau dinas teknis, bukan lurah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Agung, Sekretaris Titah Rakyat Kota Bekasi. Ia menyoroti isi surat yang dinilai berbahasa intimidatif, serta minimnya komunikasi sebelum surat dikirimkan ke warga.
“Baru tahu ada masalah langsung dikirimi SP. Tidak ada musyawarah, tidak ada pemberitahuan sebelumnya,” ungkap Agung.
Kedua tokoh ini sepakat bahwa penataan wilayah memang penting, tapi harus melalui pendekatan dialog dan partisipatif, bukan ancaman.
“Negara harus hadir dengan cara yang bermartabat, bukan menakut-nakuti rakyat,” kata Agung.
Mereka mendesak Pemerintah Kota Bekasi dan pihak terkait seperti PJT untuk turun tangan dan membuka ruang dialog dengan warga. Jika tidak ada tindak lanjut, mereka siap menempuh jalur hukum.
“Kami siapkan laporan ke PTUN, Ombudsman, bahkan ke Kemendagri jika perlu. Ini bukan soal menolak penataan, tapi soal keadilan dan prosedur,” tegas Ali.