TANGGAMUS — Aroma tak sedap di koridor kekuasaan Pemkab Tanggamus yang diibaratkan adanya “politik rasa parfum kekuasaan” yang mulai bikin sesak napas birokrasi mendapat sorotan tajam.
Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi (AMPI) Kabupaten Tanggamus, Ari Berlian, menuding Sekda Suaidi telah mencederai hak demokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tuduhan itu muncul setelah beredar isu adanya “ritual politik” berupa tekanan kepada pejabat untuk menandatangani surat pengunduran diri sebelum gong reshuffle pejabat SKPD dibunyikan.
“Kalau benar ada pejabat dipanggil ke ruang Sekda dan disodori surat pengunduran diri tanpa alasan hukum yang jelas, itu bukan pembinaan, itu pemaksaan!” tegas Ari, Kamis (9/10/2025).
Menurut Ari, praktik semacam itu bukan hanya menyalahi etika birokrasi, tapi juga mengkhianati reformasi aparatur yang selama ini jadi jargon manis pemerintah.
“ASN bukan boneka yang tinggal diganti bajunya setiap Bupati bosan. Mereka punya karier, punya martabat, bukan pion politik,” katanya pedas.
Isu ini mencuat setelah sejumlah kepala dinas dikabarkan dipanggil satu per satu ke ruang Sekda dan “dititipi” surat pengunduran diri. Beberapa menolak, sebagian diam, dan sisanya konon langsung berdoa agar mutasi cepat berlalu.
Salah satu sumber internal Pemkab membisikkan,“Surat itu dijadikan alat tekan. Kalau ga tanda tangan, ya siap-siap digeser.”
Desas-desus makin panas karena disebut-sebut nama-nama pengganti pejabat lama sudah disiapkan lebih dulu, bahkan sebelum proses uji kompetensi dilakukan. Seolah reshuffle bukan lagi urusan evaluasi, tapi urusan selera.
“Ini bukan rotasi jabatan, tapi operasi politik terselubung,” kata Ari Berlian menambahkan. “Kalau benar Sekda menjalankan ‘perintah halus’ dari lingkar kekuasaan, itu pelanggaran serius terhadap prinsip meritokrasi.”
Menurutnya, tekanan terhadap ASN ini merupakan bentuk “kolonialisasi jabatan” gaya baru kekuasaan yang menghapus logika merit dan menggantinya dengan loyalitas mutlak.
Ia mengingatkan, UU Nomor 5 Tahun 2014 jelas menjamin perlindungan karier ASN dari intervensi politik. “Tapi di Tanggamus, kelihatannya undang-undang kalah pamor dari surat panggilan Sekda,” ujarnya setengah sinis.
Tak berhenti di situ, Ari menilai praktik semacam ini menumbuhkan budaya takut dan diam di lingkungan birokrasi.
“Sekarang pejabat takut bicara, takut senyum, takut beda pendapat. Semua ingin aman, padahal yang aman justru yang manut, bukan yang benar,” katanya.
AMPI menegaskan akan mengirim laporan resmi ke KASN, BKN, dan Ombudsman RI, agar segera mengaudit dan memeriksa dugaan pelanggaran sistem merit di Pemkab Tanggamus.
“Negara tidak boleh tutup mata terhadap penyalahgunaan kekuasaan, sekecil apa pun bentuknya. Ini bukan sekadar soal jabatan, tapi soal moral administrasi negara,” ujar Ari.
Sorotan publik makin tajam setelah diketahui belasan jabatan kepala OPD masih berstatus Plt lebih dari setahun. Bahkan, ada pejabat aktif yang justru diturunkan menjadi kepala bidang tanpa keputusan resmi dari BKN.
“Kalau birokrasi dikelola seperti main kartu remi, yang kalah bukan cuma pejabatnya, tapi rakyat yang menunggu pelayanan,” sindirnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Sekda Suaidi dan Bupati Saleh Asnawi belum memberikan tanggapan resmi. Suasana di lingkungan Pemkab disebut hening tapi tegang seperti ruang rapat yang AC-nya mati tapi semua pura-pura dingin.
Pegawai memilih jalan aman bekerja dengan wajah netral, sambil menebak siapa berikutnya yang “dipanggil ngopi” ke ruang Sekda.
Dan di luar gedung, masyarakat sipil mulai mencium aroma kuat dari balik meja kekuasaan aroma tekanan yang disemprot parfum loyalitas.
“Ketika demokrasi ASN diuji, dan meja kekuasaan mulai bergetar oleh tangan-tangan yang tak sabar.”ujarnya.***