TANGGAMUS – Kematian tragis tahanan titipan pengadilan Samsuarjen (alm) pada 5 Juli 2025 memicu gelombang protes keras terhadap kinerja RSUD Batin Mangunang, Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Nusantara Indonesia (LPKNI) Tanggamus, Yuliar Baro, mendesak Bupati Tanggamus segera mencopot dr. Theresia Hutabarat dari jabatannya sebagai Direktur RSUD BM.
Desakan itu mencuat setelah muncul dugaan kuat adanya malpraktik medis dalam penanganan Samsuarjen, yang sebelumnya dirawat selama tujuh hari di RSUD BM karena menderita demam berdarah dengue (DBD).
Alih-alih membaik, pasien justru dipulangkan ke Rutan Kotaagung dalam kondisi kritis dengan hemoglobin hanya 7 dan trombosit anjlok ke angka 6.000.
“Saya minta Bupati tegas dan segera mengganti Direktur RSUD BM. Banyak masalah internal yang tak pernah diselesaikan. Ini bukan sekadar persoalan manajerial, ini soal nyawa manusia,” tegas Yuliar Baro, Rabu, 16 Juli 2025.
Menurut Baro, selain dugaan malpraktik, ada indikasi penelantaran pasien di rumah sakit tersebut sehingga menimbulkan kematian. Ironisnya jasa pelayanan pegawainya belum terbayarkan sejak Januari 2025.
“Bukan hanya itu, kemaren juga pelayanan sempat lumpuh karena puluhan pegawai mogok kerja lantaran jasa pelayanan belum terbayarkan selama 7 bulan” ungkap Baro.
Sebelumnya, Kepala Sub Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Kotaagung, Prameswari, mengaku heran dengan keputusan RSUD BM yang memulangkan Samsuarjen meski hasil laboratorium menunjukkan kondisi memburuk.
“Saya tanya ke perawat rutan, kok bisa pasien dipulangkan dengan kondisi seperti itu? Mereka jawab sudah atas instruksi dokter,” ujarnya.
Prameswari menjelaskan, setelah pemulangan pasien ke Rutan, keesokan harinya, Samsuarjen kembali dirujuk ke RSUD BM dalam kondisi drop. Namun, hanya satu jam setelah masuk Unit Gawat Darurat, nyawanya tak tertolong.
Menanggapi tudingan tersebut, Direktur RSUD BM, dr. Theresia Hutabarat, membantah adanya kelalaian. Ia menyebut pasien sudah diberikan empat kantong transfusi darah selama masa perawatan dan menyatakan kondisinya sudah membaik.
“Kami menyarankan rawat jalan dan rujukan ke rumah sakit lain karena keterbatasan alat,” jelas Theresia.
Namun pernyataan itu justru memantik kritik tajam dari kalangan medis. Seorang dokter spesialis penyakit dalam yang meneliti hasil lab Samsuarjen menyebut keputusan memulangkan pasien dengan trombosit hanya 6.000 dan suhu tubuh 38,1 derajat sebagai tindakan keliru dan fatal.
“Itu sudah masuk fase kritis DBD. Risiko syok hipovolemik sangat tinggi. Pasien harusnya dirawat intensif, bukan disuruh rawat jalan,” tegasnya.
Merespons kehebohan publik, Komisi IV DPRD Tanggamus menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) tertutup bersama Direktur RSUD BM dan tim medis. Ketua Komisi IV Edi Romzi menyatakan pihaknya masih mendalami informasi dan akan memanggil pihak lain untuk melengkapi data.
“Kami belum mengambil kesimpulan karena baru dengar dari satu pihak. Tapi ini kasus serius yang harus ditindak tuntas,” tegas Edi.
Dalam hearing tersebut, dr. Theresia sempat menangis di hadapan anggota dewan, namun belum mampu menjelaskan secara utuh alasan medis di balik keputusan memulangkan pasien.
Samsuarjen sebelumnya dirawat sejak 28 Juni 2025 dan dipulangkan pada 4 Juli. Namun keesokan harinya, ia kembali dalam kondisi lemah, hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia pada sore hari, 5 Juli 2025.
Pihak keluarga belum angkat bicara terkait langkah hukum, namun publik mendesak agar kasus ini tak berhenti hanya pada klarifikasi sepihak.
Tragedi Samsuarjen bukan hanya soal malpraktik, tapi mencerminkan kegagalan sistemik pelayanan kesehatan di Tanggamus yang harus dibenahi dari akar. ***