LAMPUNG TIMUR — Geliat mesin penyedot pasir di Desa Sriminosari, Kecamatan Labuhan Maringgai, terus menderu nyaring. Suara knalpot truk-truk pengangkut pasir keluar masuk tak ubahnya orkestra alam liar, menandai betapa “hidup” tambang pasir ilegal milik Joko Sunarto meski secara hukum, seharusnya sudah “mati suri”.
“Paling sedikit 12 rit pasir seukuran mobil truk bisa kami jual tiap hari,” ujar Joko dengan santai, saat ditemui di lokasi tambang, pada Rabu (16/7/2025) lalu.
Uniknya, Joko mengklaim aksinya itu demi misi mulia yakni untuk cetak sawah, mendukung program ketahanan pangan Presiden. Cetak sawah dengan cara menyedot pasir dan menjualnya sebuah logika yang tampaknya hanya bisa diterima di wilayah dengan hukum yang lentur seperti karet gelang.
Namun, narasi heroik ala Joko ini langsung dimentahkan oleh Camat Labuhan Maringgai, Hendri Gunawan. Ia menegaskan bahwa program cetak sawah tidak bisa dilakukan sembarangan.
“Kalau memang mau cetak sawah, itu harus melalui usulan resmi dari desa ke Pemda. Bukan asal sedot pasir, lalu dijual. Itu jelas tambang liar, bukan program pemerintah,” tegasnya.
Menariknya, diketahui bahwa police line sempat terpasang di lokasi tambang. Tapi kini, garis kuning itu tampaknya hanya jadi kenangan atau mungkin dipakai ulang buat acara tujuh belasan. Karena faktanya, lokasi tambang kembali beroperasi dengan mulus, seolah tak pernah tersentuh hukum.
Sementara itu, Kanit Tipidter Polres Lampung Timur, AKP Meidy Hariyanto, yang sebelumnya berjanji akan menindaklanjuti tambang liar di kawasan ini, kini sulit dihubungi. Entah sedang sibuk memfilter panggilan, atau mungkin sedang meneliti tambang-tambang di dunia Metaverse.
Ironisnya, Joko bahkan sempat menyalahkan penambang lain di Desa Way Bandar.
“Mereka itu yang benar-benar merusak lingkungan,” kata Joko, tanpa menyadari bahwa kubangan sedalam dua meter dan seluas satu hektare di lahannya sendiri juga layak masuk nominasi kerusakan lingkungan versi lokal.
Diketahui lokasi penambangan yang diduga baru berjalan sepekan ini sudah menorehkan luka permanen di tanah desa, lubang besar, tanah longsor mini, dan kekhawatiran masyarakat yang seolah teredam oleh suara mesin penyedot pasir.