KOTA BEKASI — Front Persaudaraan Islam (FPI) Kota Bekasi memilih jalur klasik tapi relevan dengan bersilaturahmi sekaligus mengingatkan pemerintah soal darurat sosial yang makin kentara di lapisan bawah.
Silaturahmi ini berlangsung Jumat pagi (11/7/2025) di ruang kerja Wakil Wali Kota Bekasi Abdul Harris Bobihoe, dengan agenda utama menyampaikan kekhawatiran seputar tiga “penyakit masyarakat” yang menurut FPI kini tumbuh subur seperti rumput liar di musim hujan.
Ketiga pesan sosial itu, meliputi bahaya peredaran obat keras jenis G, prostitusi online di apartemen, dan perilaku LGBT.
Ketua DPW FPI Kota Bekasi, Habib Ali bin Umar Al Athos, dalam penyampaiannya tak berpanjang-panjang. Isunya jelas, targetnya konkret.
“Peredaran narkoba jenis G sekarang menyasar anak-anak muda, bahkan usia sekolah. Itu alarm bahaya yang tak boleh dianggap biasa,” tegasnya.
Menurutnya, tren penyalahgunaan obat keras seperti tramadol dan eximer kini makin susah dibedakan dari permen, saking mudahnya diperoleh. “Pakai G, jadi Goyah. Masa depan ambyar,” ujar salah satu anggota FPI dengan nada setengah miris.
Lebih lanjut, praktik prostitusi online yang menyusup ke apartemen-apartemen mewah juga jadi sorotan. Di era aplikasi serba instan, praktik lama berganti metode tapi tetap beroperasi di bawah radar.
FPI menilai perlu pengawasan lebih serius dari Pemkot, bukan sekadar razia musiman menjelang Ramadan.
FPI pmenyoroti terkait fenomena LGBT yang dinilai tak hanya bertentangan dengan nilai agama dan budaya, tapi juga berpotensi jadi bom sosial jika tak ditangani dengan pendekatan sistematis, preventif, dan edukatif.
“Ini bukan hanya soal moral, tapi soal arah. Generasi muda kita mau dibawa ke mana kalau semua dianggap wajar dan tak ada filter?” ujar Habib Ali.
Silaturahmi ini bukan sekadar menyampaikan uneg-uneg. Habib Ali juga mengapresiasi sikap terbuka dari Wakil Wali Kota Abdul Harris Bobihoe yang disebut “mau mendengar, bukan cuma mendengar laporan dinas.”
“Alhamdulillah, disambut dengan tangan terbuka. Ini sinyal baik bahwa Pemkot tak alergi kritik dan kolaborasi,” katanya.
Wakil Wali Kota pun membalas dengan diplomasi khas birokrasi: ramah, hangat, dan penuh harapan.
“Kami harap bisa bekerja sama menjaga generasi muda, agar Bekasi tetap keren, nyaman, dan masyarakatnya sejahtera,” ucap Bobihoe.
Pertemuan ini jadi penanda bahwa persoalan moral dan sosial tidak bisa ditangani oleh ormas atau pemkot sendirian. Butuh kolaborasi nyata, bukan basa-basi musyawarah. Butuh langkah tegas, bukan hanya program seremonial yang diliput media tapi tak meninggalkan jejak.
Karena bila tidak ditangani dengan serius, bisa jadi nanti kita punya kota yang infrastrukturnya megah, jalannya mulus, tapi generasinya hilang arah karena narkoba, seks bebas, dan krisis identitas.(AD)***