TANGGAMUS – Dugaan praktik ilegal mengejutkan terungkap dari aktivitas komersial Kolam Renang Kok Happy Family yang berlokasi di Pekon Banyu Urip, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamu, Jumat 11 Juli 2025.
Tempat hiburan air ini disinyalir telah mengeksploitasi air tanah secara ilegal tanpa izin resmi, dan lebih parah lagi tidak membayar pajak atas pemanfaatan sumber daya air yang digunakan untuk operasionalnya.
Investigasi tim media mengungkap bahwa kolam renang ini menyedot air tanah dalam jumlah besar melalui pengeboran liar, tanpa dasar hukum yang sah.
Air hasil bor itu digunakan sebagai suplai utama untuk kolam renang, yang jelas tergolong sebagai kegiatan komersial dengan intensitas pemakaian tinggi, dan seharusnya berada dalam pengawasan ketat Dinas ESDM Provinsi Lampung.
Namun, tak ada satu pun dokumen perizinan yang membuktikan legalitas eksploitasi air bawah tanah tersebut.
Lebih dari itu, dokumen jual beli lahan tempat kolam ini berdiri pun diduga dipalsukan, menambah kompleksitas pelanggaran hukum yang terjadi.
Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, setiap pengambilan air tanah tanpa izin resmi dan tanpa kewajiban pembayaran pajak dikenakan sanksi pidana dan administratif.
Namun, Kolam Renang Kok Happy Family tampaknya luput dari pengawasan atau sengaja dibiarkan.
Seorang pejabat dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus, yang enggan disebutkan namanya, menegaskan bahwa praktik semacam ini adalah pelanggaran berat.
“Izin penggunaan air tanah untuk komersial harus keluar dari Dinas ESDM provinsi, dan harus ada bukti pembayaran pajaknya. Jika itu tidak ada, maka jelas aktivitasnya ilegal dan berpotensi dipidanakan,” ujarnya.
Penelusuran lanjutan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Tanggamus menunjukkan bahwa kolam renang tersebut hanya membayar pajak usaha, tidak termasuk pajak eksploitasi air tanah. Padahal, dalam skala konsumsi besar seperti kolam renang, air tanah adalah komponen utama yang dikenai kewajiban pajak.
Praktik ini bukan hanya melanggar administrasi, tetapi juga merugikan pendapatan daerah, memperburuk kelestarian sumber daya alam, dan menciptakan ketimpangan perlakuan antara pelaku usaha yang taat dan yang nakal.
Lebih parah lagi, limbah dari kolam renang ini dilaporkan mencemari lahan pertanian warga. Air buangan merembes ke lingkungan sekitar dan menyebabkan kerusakan tanaman serta penurunan hasil panen. Warga menyebut efeknya sudah dirasakan sejak kolam mulai beroperasi.
“Bukan cuma merusak lingkungan, tapi juga merampas hak kami sebagai petani. Ini bukan sekadar usaha, tapi bentuk keserakahan,” ujar seorang warga terdampak.
Pihak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Tanggamus pun tak luput dari sorotan. Saat dikonfirmasi, mereka menyatakan bahwa izin usaha kolam renang diterbitkan tanpa mengetahui status hukum lahan atau adanya aktivitas pengeboran air tanah.
“Kami hanya memproses NIB dan izin usaha berdasarkan administrasi daring. Verifikasi fisik dan status sengketa lahan bukan ranah kami,” ujar salah satu staf DPMPTSP.
Pernyataan ini menunjukkan celah serius dalam sistem perizinan daerah, di mana verifikasi dokumen tak menyentuh substansi hukum dan dampak lingkungan.
Menyikapi temuan ini, warga dan aktivis Tanggamus mendesak agar Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, dan aparat penegak hukum segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan eksploitasi ilegal, memproses pelanggaran hukum, dan melindungi hak serta ruang hidup masyarakat lokal.
“Kalau ini dibiarkan, akan jadi preseden buruk. Semua orang nanti bisa seenaknya ngebor tanah, jual jasa, tapi nggak bayar pajak, nggak ada izin, dan bebas cemari lingkungan,” tegas Ari.
Kasus ini menjadi cermin buram lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas pemanfaatan sumber daya alam di daerah. Ketika pelaku usaha bisa memalsukan dokumen, menyalahi regulasi, dan merusak lingkungan tanpa sanksi nyata, maka yang dikorbankan adalah ekosistem dan masyarakat kecil.***