LAMPUNG SELATAN — Polemik tiang listrik yang berdiri manis di atas lahan warga di Dusun II Desa Bangunsari, Kecamatan Tanjungsari, tanpa izin dan tanpa permisi, terus berlanjut tanpa solusi.
Tiang listrik berdiri tegak dan percaya diri di tengah pekarangan warga ini bukan penyambung harapan warga, melainkan simbol arogansi yang menyetrum akal sehat.
Sumber masalahnya? Kabel yang katanya buat menerangi usaha kandang ayam, tapi malah bikin gelap keadilan di mata warga.
Tiang itu bukan sembarang tiang. Ia berdiri gagah di pekarangan orang lain, mengalirkan daya untuk ayam, bukan untuk warga. Dan ironisnya, tak ada musyawarah, tak ada surat izin, bahkan sekadar “permisi numpang lewat” pun nihil.
Listrik mungkin mengalir deras, tapi etika tampaknya mati suri di jalur ini. Beberapa kali musyawarah digelar oleh Kepala Desa Bangunsari. Sayangnya, kehadiran pihak PLN dan pemilik usaha kandang ayam seperti sinyal HP di saat berada di Desa Induk Gunung Sugih Besar hilang terus.
“Sudah dua kali dijadwalkan, dua-duanya yang bersangkutan tidak datang. Kami curiga, mereka merasa urusan sudah selesai ‘di bawah meja’ dengan oknum tertentu,” ujar seorang warga kepada Wawai News, Jumat (18/7/2025).
Kecurigaan ini muncul karena proyek tiang dan sambungan listrik bisa berjalan dengan mulus, seperti ayam potong yang sudah disuntik formalin keras kepala, tapi tetap dijual bebas.
Pekarangan Warga, Jalur VIP Listrik Ayam
Warga menegaskan bahwa tiang listrik tersebut berdiri tanpa seizin pemilik tanah, dan digunakan khusus untuk menghidupkan kandang ayam. Tanpa konsultasi, tanpa ganti rugi, tanpa surat, dan tentu saja tanpa hati nurani.
“Kami hanya minta konpensasi wajar, atau kalau tidak mau, silakan tiangnya pindah. Jangan lewat pekarangan atau ladang kami,” tegas warga usai rapat di balai desa.
Pihak warga menyayangkan, mengapa fasilitas istimewa hanya diberikan kepada kandang ayam, sementara warga setempat bahkan masih berjuang nyambung listrik sendiri.
Sementara itu, Kades Bangunsari, Poniran, tampil dalam mode netral permanen. Ia mengatakan akan kembali memfasilitasi pertemuan antara warga, PLN, dan pihak kandang ayam.
“Saya akan coba lagi memfasilitasi, semoga bisa ketemu jalan tengah,” katanya, dengan nada seperti operator radio zaman perang ada suara, tapi sinyalnya kabur.
Sayangnya, warga menilai pernyataan Kades itu sebatas formalitas, seperti sambutan di rapat RT dibaca cepat, isinya lewat begitu saja.
Polemik ini menunjukkan bahwa di beberapa tempat, bisnis ayam bisa lebih berkuasa daripada rakyat. Jalur listrik bisa ditekuk sesuai kepentingan, asal bukan untuk rakyat kecil.
Yang menyedihkan, warga yang tanahnya dilintasi tiang justru harus bersabar, berdiplomasi, dan memohon hak mereka kembali sementara kabel listrik sudah dengan angkuhnya menggantung di atas kepala mereka.***