KOTA BEKASI — Kota yang katanya ramah keluarga, ternyata belum tentu ramah terhadap satu keluarga kecil yang tidur beratap pos kamling dan berbantal kardus, Rabu 6 Agustus 2025.
Dialah Susi bukan nama samaran, bukan pula tokoh fiksi bersama dua anaknya, bocah laki-laki berusia 8 tahun dan gadis kecil berumur 4 tahun, yang sedang berjuang hidup di Jalan Duren Raya, RT 04 RW 07, Perwira, Bekasi Utara.
Susi, bersama dua anaknya, sudah dua malam tidur di poskamling. Atapnya ada, temboknya nihil. Dindingnya adalah angin malam dan kawanan nyamuk lokal yang antusias menyambut tamu tak diundang.
Pos ronda itu mungkin satu-satunya tempat “umum” yang tidak dikomersialisasi di Bekasi.
Menurut warga sekitar yang memilih identitasnya dirahasiakan (karena di Indonesia, mengatakan kebenaran bisa bikin diundang klarifikasi), Susi diusir dari kontrakan setelah dua bulan tak mampu bayar sewa.
Suaminya katanya merantau di Malaysia tak kunjung mengirim uang. Apakah sang suami menjadi tenaga kerja atau malah korban scam crypto internasional, itu masih misteri.
Yang jelas, Susi kini tak punya tempat tinggal. Harapan terakhirnya bukan pada keluarga, karena katanya keluarga di Bekasi sudah angkat tangan.
Harapan itu kini bergantung pada Dinas Sosial, atau siapapun yang punya hati dan empati lebih dari panjang jari jemari.
Ketua RT setempat, Soepriyono, mengaku sudah berusaha semaksimal mungkin. Maksimal di sini tentu ukuran RT, bukan negara G20. Ia sudah koordinasi ke Dinas Sosial lewat Kantor RW, dan hasilnya? Nihil harapan.
“Saya sudah koordinasi, tapi katanya identitas Bu Susi bukan warga Kota Bekasi. Jadi kemungkinan enggak bisa diakomodir,” kata Pak RT dengan nada pasrah dan kening berkerut khas pemimpin lokal sebagaimana dilansir wawai news.
Di titik ini, kita semua dipaksa mengakui satu hal. Menjadi manusia tanpa KTP lokal itu lebih menyusahkan daripada hidup tanpa password Wi-Fi.
Bekasi, kota satelit yang katanya sedang menata diri menuju “Smart City” dan “Green Urban Living”, ternyata masih menyimpan tragedi urbanisasi kemiskinan dan pengusiran.
Tapi ini bukan hanya tentang kemiskinan ekonomi, ini tentang kemiskinan empati dalam birokrasi.
Susi bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari sekian banyak orang yang kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan akses pada sistem sosial yang katanya disiapkan untuk “siapa saja yang butuh”.
Sayangnya, “siapa saja” ternyata tetap harus punya KTP lokal, surat keterangan domisili, dan mungkin juga SKCK, tes darah, dan bukti vaksin.
Sementara Susi dan anak-anaknya bertarung dengan nyamuk di poskamling, pemerintah kemungkinan besar sedang rapat membahas Rencana Strategis Lima Tahunan tentang “pengentasan kemiskinan berbasis data digital”. Lengkap dengan presentasi PowerPoint penuh grafik, jargon “inklusif”, dan foto-foto model stok.
Yang tak akan ada di slide itu, wajah Ibu Susi, dua anak kecil yang ketakutan di malam hari, dan poskamling yang menjelma rumah darurat.
Entah sampai kapan kita harus menunggu agar “kemanusiaan” tak perlu lagi diverifikasi lewat domisili.***