Scroll untuk baca artikel
Opini

Timnas Dihajar Jepang, Danantara, dan “Revolusi” Total

×

Timnas Dihajar Jepang, Danantara, dan “Revolusi” Total

Sebarkan artikel ini
Ernando Ari Sutaryadi Penjaga Gawang Indonesia, saat kebobolan gol kedua pada pertandingan babak 16 besar Piala Asia , Minggu 28 Januari 2024
Ernando Ari Sutaryadi Penjaga Gawang Indonesia, saat kebobolan gol kedua pada pertandingan babak 16 besar Piala Asia , Minggu 28 Januari 2024 - foto doc net

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Kekalahan timnas Indonesia oleh timnas Jepang bukan saja bermakna kekecewaan. Melainkan membawa dua pesan penting bagi sepak bola Indonesia.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pada pertandingan kemarin itu timnas Indonesia dihajar Jepang 5-0 tanpa ampun.

Dulu, tahun lama sekali, Jepang pernah dihajar Indonesia 7-0. Dulu sekali. Pada piala Merdeka Cup. Tahun 1968. Jaman belum ada pemain naturalisasi.

Kini timnas Indonesia diisi pemain naturalisasi. Permainan Indonesia justru jauh di bawah level Jepang. Tak berkutik untuk sekedar melakukan perlawanan.

Pemain Jepang bertumpu pada kaderisasi internalnya sendiri. Sesuai karakteristik SDM yang dimilikinya.

Pesan pertama, “revolusi” total sistem pembinaan merupakan kunci kualitas timnas. Kompetisi yang baik dan berkualitas secara berjenjang akan menghasilkan talenta-talenta terbaik. Inilah pengisi kekuatan timnas untuk berlaga dalam kompetisi global.

Pesan kedua, naturalisasi pemain keturunan bukan solusi permanen. Keberadaannya menjadi pelengkap.

Mereka yang berdarah Indonesia berhak membela tanah leluhurnya. Sekaligus instrumen rehabilitasi “luka sejarah”. Atas sejumlah diaspora dan keterpisahan elemen bangsa pada masa lalu oleh alasan politik. Tetu nenek moyang para pemain diaspora itu.

BACA JUGA :  Gymnastic Revolution dan Pemilu 2024

“Revolusi” total sistem pembinaan tidak bisa ditawar. Itu solusinya. Piala dunia dimulai dari sistem pembinaan yang baik. Secara berjenjang berdasar kelompok umur. Sistem itu harus “revolusi” total.

Apa problem pembinaan selama ini?

Pembinaan usia muda belum sistematis dan berkelanjutan. Indonesia banyak talenta muda, sering berprestasi. Pembinaannya terputus-putus, sehingga tidak bisa merawat talenta itu hingga usia kematangannya.

Akademi sepak bola belum memiliki standar tinggi. Kompetisi usia muda (U-13, U-15, U-17) belum merata dan intensif. Akibatnya tidak tercipta transisi yang bagus dari junior ke senior.

Kompetisi lokal kurang kompetitip. Liga 1 dan 2 sering mengalami penundaan, dualisme atau adanya insiden sehingga kompetisi dihentikan (kasus Kanjuruhan).

Sejumlah klub tidak mengandalkan pembinaan jangka panjang. Mencari prestasi instan. Sewa pemain.

Korupsi, transparansi dan akuntabilitas masih perlu dibenahi. Kualitas pelatih dan fasilitas pelatihan belum memadai. Pengalaman internasional perlu lebih intensif. Mentalitas masih belum kuat oleh budaya tekanan sosial/pujaan suporter secara berlebihan.

Solusinya perlu penyeragaman desain kurikukum secara nasional berbasis sport science. Semua SSB harus menerapkan kurikulum itu dengan standarisasi yang ketat. Perlu standarisasi pelatih usia muda.

BACA JUGA :  Ramadhan dan Peradaban Serba Tuhan

Infrastruktur perlu dibangun. Setidaknya setiap provinsi memiliki 1 pusat pelatihan regional. Kompetisi usia dini harus digelar secara rutin dan terstruktur.

Perlu jalur transisi pemain muda ke elit muda dan profesional. Scouting nasional berbasis data juga diperlukan.

Para pemain usia dini juga perlu dukungan ekonomi, psikologis dan pendidikan formal. Kelangsungan studinya harus dijaga. Harus ada back up karir. Harus ada PSSI, kementerian terkait, sekolah dan klub.

Secara sederhana, perlu pembangunan 34 pusat pelatihan regional, pelatihan dan lisensi minimal 10.000 pelatih usia muda, pengembangan kurikulum nasional, subsidi SSB, liga usia muda.

Perlu pula beasiswa untuk pendidikan pemain, kampanye dan promosi untuk dukungan partisiatif masyarakat.
Tidak kalah penting adalah audit publik untuk pengelolaan dana PSSI.

Berdasar riset digital dari berbagai sumber, revolusi pembinaan itu kira-kira diperlukan dana 4-5 T per lima tahun. Equivalen 1 T per tahun. Ini jumlah yang tidak besar untuk ukuran APBN.

Investasi pembinaan ini dengan sendirinya akan menggerakkan ekonomi masyarakat mencapai 10 T pertahun. Hanya satu kompetisi senior saja. Belum jika diakumulasi dengan banyak kompetisi.

BACA JUGA :  Gibran, Danang dan Penangsang

Problemnya hanya terletak pada political will. Policy dan team manajemen yang serius untuk melakukan “revolusi” pembinaan. Anggaran juga tidak menjadi soal bagi Indonesia.

Danantara bisa diproyeksikan mampu mengumpulkan CSR sebesar 1 miliar dolar per 5 tahun. Setara dengan Rp. 16 T.

Pertahun, CSR Danantara bisa mencapai 1 s.d 3 T. Jumlah itu bisa lebih besar seiring penataan Danantara untuk efisiensi menutup kebocoran.

Dari anggaran CSR Danantara saja sudah bisa melakukan revolusi pembinaan sepak bola secara komprehensif. Bahkan tidak memakai kesuluruhan dana CSR, revolusi pembinaan sepakbola sudah bisa terjuwud.

Konon CSR BUMN peruntukannya berdasarkan katebelece atau “fatwa” politisi. Kini harus diubah, untuk skala prioritas pembangunan bangsa.

Prioritas pertama untuk pembinaan olah raga secara secara sistematis. Prioritas kedua untuk kebencanaan. Prioritas ketiga, bantuan darurat pendidikan.

Misalnya gedung sekolah rusak, di daerah terisolir. Nomenklantur peruntukan CSR harus jelas dan terukur.

Prioritas utamanya pada pembinaan olah raga. Permainan populer seperti sepak bola, voly, basket, bisa menjadi prioritas pertama.

Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)