Scroll untuk baca artikel
Opini

Tokoh-Tokoh Bangsa yang Dipenjara Presiden Soekarno

×

Tokoh-Tokoh Bangsa yang Dipenjara Presiden Soekarno

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Kepemimpinan Presiden Soekarno (1945–1967) adalah panggung sejarah yang megah sekaligus penuh paradoks. Dalam dua dekade kepemimpinannya, Indonesia menapaki tiga fase politik besar revolusi kemerdekaan, demokrasi parlementer, hingga Demokrasi Terpimpin.

Namun di balik gelora revolusi dan retorika persatuan, tersimpan kisah getir: sejumlah tokoh bangsa yang berjasa bagi republik justru berakhir di penjara atau pengasingan, bukan karena tindak pidana, melainkan karena perbedaan pandangan politik.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin

Setelah masa Demokrasi Liberal (1950–1959) yang penuh tarik-menarik antarpartai, Soekarno menilai sistem parlementer terlalu banyak melahirkan kompromi politik yang melemahkan pemerintahan.

Ia kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, dan memberlakukan kembali UUD 1945. Saat itulah lahir Demokrasi Terpimpin, di mana seluruh poros kekuasaan politik dan ideologi berpusat di tangan presiden.

Konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) menjadi formula sakral yang diusung Soekarno untuk menjaga keseimbangan kekuatan politik nasional. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru mempersempit ruang oposisi, terutama bagi kelompok Islam dan sosialis non-komunis. Mereka yang menolak garis revolusi Soekarno dicap sebagai “kontra-revolusioner”.

BACA JUGA :  LPG 3 Kg: Veto Presiden, Manajemen Transisi dan Instrumen Ekonomi Pancasila

Sutan Sjahrir: Intelektual di Balik Jeruji

Sutan Sjahrir — pendiri Republik, perancang diplomasi kemerdekaan, dan Perdana Menteri pertama Indonesia — menjadi korban pertama dari gelombang represi politik itu. Sebagai pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sjahrir menentang kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah pemberontakan PRRI/Permesta (1958), yang sebagian simpatisannya berasal dari PSI, Sjahrir dituduh terlibat kegiatan kontra-revolusioner. Ia ditangkap tahun 1962 tanpa pengadilan dan ditahan di Jakarta.

Karena kesehatan memburuk, Sjahrir diizinkan berobat ke Zürich, Swiss, namun meninggal dunia di sana pada 9 April 1966 dalam status tahanan politik.

Ia dikenang bukan sebagai pemberontak, melainkan simbol oposisi intelektual terhadap otoritarianisme.

Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara: Pejuang yang Dituduh Pemberontak

Tokoh Islam terkemuka, Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri sekaligus Ketua Partai Masyumi, juga menolak konsep Nasakom dan mengkritik kedekatan Soekarno dengan PKI. Setelah PRRI meletus, Masyumi dibubarkan pada 1960.

Dua tahun kemudian Natsir ditangkap tanpa pengadilan dan ditahan hingga kejatuhan Soekarno. Ia baru bebas pada 1967, di awal Orde Baru.

Nasib serupa dialami Sjafruddin Prawiranegara, tokoh yang pernah menyelamatkan republik dengan memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda (1948–1949).

BACA JUGA :  Sandera Kasus Hukum dan Kemenangan Rakyat

Namun, sejarah berbalik. Karena menandatangani Piagam Perjuangan Semesta yang dianggap mendukung PRRI, ia ditangkap tahun 1962 dan ditahan tanpa proses hukum. Ironi sejarah pun terjadi penyelamat republik berubah menjadi tahanan politik republik yang diselamatkannya.

Gelombang Represi terhadap Non-Komunis

Selain Sjahrir, Natsir, dan Sjafruddin, banyak tokoh lain turut menjadi korban represi politik.

  • Burhanuddin Harahap, mantan Perdana Menteri, ditahan tahun 1962.
  • Mohammad Roem, diplomat ulung, juga dipenjara karena dianggap simpatisan Masyumi.
  • Sumitro Djojohadikusumo, ekonom PSI, melarikan diri ke luar negeri pasca-PRRI.
  • Mohammad Isa Anshary, intelektual Islam progresif, tak luput dari penahanan.

Pers pun tak luput dari tekanan. Media seperti Pedoman milik Rosihan Anwar, Abadi milik kalangan Islam, dan sejumlah surat kabar independen dibredel. Wartawan dipenjara, redaksi dibubarkan, dan suara publik dikontrol di bawah jargon “Revolusi Belum Selesai”.

Tahanan Tanpa Pengadilan: Luka Demokrasi

Sebagian besar penahanan dilakukan tanpa proses pengadilan. Status “tahanan politik” (tapol) menjadi alat politik yang efektif untuk membungkam oposisi.
Mereka dikurung di berbagai tempat — dari penjara Salemba hingga pengasingan di Pulau Buru, yang kelak digunakan pula oleh Orde Baru untuk menahan para tapol pasca-1965.

BACA JUGA :  Catatan Merah Pendidikan Tinggi di Indonesia

Praktik ini menciptakan preseden berbahaya: negara yang lahir dari semangat kebebasan justru menindas kebebasan itu sendiri.

Paradoks Sejarah dan Pelajaran Kekuasaan

Kebijakan penahanan politik pada masa Soekarno memperlihatkan paradoks mendalam: di satu sisi, ia adalah simbol pembebasan nasional dan persatuan bangsa; di sisi lain, ia menyingkirkan banyak tokoh yang ikut mendirikan republik, atas nama “revolusi” yang harus dijaga.

Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan banyak lainnya menjadi saksi bahwa dalam sistem tanpa keseimbangan kekuasaan, revolusi bisa menelan anak-anaknya sendiri.

Refleksi untuk Masa Kini

Kini, ketika Megawati Soekarnoputri mengekspresikan keresahan atas penahanan rumah terhadap ayahandanya di akhir masa kekuasaan, sejarah seakan berputar penuh ironi.
Keresahan yang sama mungkin dirasakan pula oleh anak-anak dan cucu dari tokoh-tokoh bangsa yang dahulu dipenjara oleh Presiden Soekarno.

Sejarah bukan untuk dihakimi, melainkan untuk dipelajari — agar bangsa ini tidak lagi mengulang luka yang sama.
Sing uwis ya uwis. Yang sudah, biarlah menjadi pelajaran; bukan dendam yang diwariskan, tapi kebijaksanaan yang ditumbuhkan.

Jakarta, 12 November 2025
Abdul Rohman Sukardi (rohmanfth@gmail.com)