Scroll untuk baca artikel
Lampung

UMP Naik di Atas Kertas, Upah Buruh Dipotong di Lapangan: Potret Buruh Bongkar Muat PT PSM 2 Lampung Timur

×

UMP Naik di Atas Kertas, Upah Buruh Dipotong di Lapangan: Potret Buruh Bongkar Muat PT PSM 2 Lampung Timur

Sebarkan artikel ini
Penampakan aktivitas bongkar muat dari mobil truk muatan tandan sawit di PSM 2, Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur - foto doc Jali

LAMPUNG TIMUR – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung tahun 2026 sebesar Rp3.047.734 ternyata tidak serta-merta membawa kabar baik bagi seluruh buruh. Di balik angka resmi yang diumumkan pemerintah, buruh bongkar muat di PT PSM 2, Desa Gunung Agung, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur justru menghadapi realitas pahit, upah yang sudah kecil masih harus dipotong secara sepihak.

Ketua F-SPSI NIBA Sekampung Udik, Ali K, menegaskan bahwa persoalan utama buruh di PT PSM 2 bukan semata rendahnya UMP, melainkan praktik pemotongan upah yang terjadi secara sistematis dan tanpa dasar hukum yang jelas.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“UMP naik sedikit, tapi di lapangan buruh bongkar muat justru dipotong 6 persen. Ini ironi ketenagakerjaan yang nyata,” tegas Ali.

Menurut Ali, buruh bongkar muat di PT PSM 2 dikenai potongan sebesar Rp6 per kilogram dari upah kerja mereka. Potongan tersebut disebut-sebut masuk ke kas Serikat Buruh Bongkar Muat (SBBM) yang hingga kini tidak jelas legalitas dan status pendaftarannya di instansi ketenagakerjaan.

BACA JUGA :  PSM 2 Gunung Agung Tak Bisa Tunjukkan Legalitas, Warga: “Wagub Saja Bisa Kecolongan, Apalagi Kami?”

Yang membuat kondisi ini semakin memprihatinkan, kata Ali, buruh tidak mendapatkan manfaat apa pun dari potongan tersebut. Tidak ada jaminan keselamatan kerja, tidak ada perlindungan jika terjadi kecelakaan, dan tidak ada kejelasan tanggung jawab apabila buruh mengalami risiko kerja.

“Upah dipotong, tapi buruh bekerja tanpa perlindungan. Kalau terjadi kecelakaan, buruh dibiarkan menanggung sendiri,” ujarnya.

Situasi ini diperparah dengan temuan adanya dua orang yang mengaku anggota serikat dan sempat diamankan warga karena diduga melakukan pungutan liar terhadap truk yang keluar masuk area perusahaan. Alih-alih menyelesaikan akar persoalan, pihak serikat justru mengeluarkan surat klarifikasi bermaterai, yang menurut F-SPSI NIBA justru menguatkan dugaan bahwa tata kelola serikat tersebut sejak awal bermasalah.

BACA JUGA :  PSM 2 Lampung Timur dalam Kaleidoskop 2025: Upah Rp6 per Kg, Serikat Abu-Abu, dan Lemahnya Pengawasan

F-SPSI NIBA menyebut praktik pemotongan upah ini telah berulang kali dilaporkan, baik ke pemerintah kabupaten maupun provinsi. Bahkan laporan resmi telah dibuat dan buruh telah dimintai keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh pejabat Disnaker bernama Miswanto.

Namun hingga kini, kata Ali, tidak terlihat langkah konkret untuk menghentikan pemotongan upah tersebut.

“Disnaker seolah hanya mencatat, bukan bertindak. Padahal pemotongan upah ini terjadi setiap hari, setiap buruh bekerja,” katanya.

Ketua F-SPSI NIBA Sekudik, Ali K, menilai lemahnya pengawasan ini berbahaya. Ia menegaskan bahwa perusahaan tidak boleh membiarkan pihak mana pun terlebih serikat dengan legalitas abu-abu mengakses dan memotong upah buruh.

“Buruh berhak atas upah penuh. Jika ada serikat, harus legal dan melindungi, bukan justru menjadi beban baru bagi buruh,” tegasnya.

Praktik pemotongan ini terjadi di saat buruh Lampung sendiri tengah kecewa atas penetapan UMP 2026 yang hanya naik 5,35 persen atau sekitar Rp154.779,24 dari UMP 2025.

BACA JUGA :  “6 Rupiah per Kilo” Upah Buruh ala PT Pesona Sawit Makmur yang Lebih Murah dari Harga Tusuk Sate?

Menurut Ali, selisih kenaikan UMP yang dianggap minim itu semakin tidak bermakna ketika buruh masih harus menghadapi potongan upah tanpa kejelasan dasar hukum.

“Bagi buruh bongkar muat, persoalannya sederhana: upah yang sedikit itu jangan lagi dipotong. Itu saja,” katanya.

F-SPSI NIBA mendesak Dinas Tenaga Kerja Lampung segera memverifikasi legalitas SBBM, menghentikan praktik pemotongan upah, serta memastikan PT PSM 2 menjalankan kewajiban perlindungan buruh sesuai peraturan ketenagakerjaan.

Jika tidak segera ditangani, kondisi buruh bongkar muat di PT PSM 2 dinilai berpotensi menjadi konflik ketenagakerjaan terbuka mulai dari aksi protes, mogok kerja, hingga jalur hukum.

Di tengah slogan perlindungan tenaga kerja, buruh bongkar muat di Lampung Timur masih bertanya: ke mana sebenarnya upah mereka pergi, dan siapa yang bertanggung jawab?***