PRINGSEWU – Video pernyataan Ketua APDESI Kabupaten Pringsewu, Lampung Jevi Hardi Sofyan, menjadi sorotan setelah pernyataannya dalam sebuah wawancara viral di media sosial.
Dalam video yang beredar, ia mengeluhkan keberadaan Wartawan, LSM, dan Ormas yang “keluar-masuk” pekon (desa-ed) serta dinas di Kabupaten Pringsewu, seolah-olah mereka adalah ancaman bagi pemangku jabatan publik.
Dia pun menyebut banyak antara mereka tak jelas baik legalitas LSM atau medianya dan hanya membuat resah.
Atas pernyataan tersebut, pimpinan media Harian Teropong Adi Putra Amril menilai pernyataan Javi Ketua Apdesi itu adalah bentuk pembungkaman terhadap fungsi kontrol sosial yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi.
“Pernyataan Jevi Hardi Sofyan menunjukkan indikasi ketidaksiapan para kepala pekon atau desa dalam menghadapi transparansi dan keterbukaan informasi publik” kata Adi.
Padahal, lanjut Adi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Wartawan dan LSM memiliki hak penuh untuk menggali informasi, mengawasi penggunaan anggaran, serta mengungkap dugaan penyalahgunaan wewenang.
“Jika memang para kepala pekon bekerja secara jujur dan sesuai prosedur, lalu mengapa keberadaan wartawan, LSM, dan Ormas menjadi masalah?” kata Adi penuh tanda tanya.
“Apakah ada sesuatu yang ingin ditutupi? Pernyataan Ketua APDESI seolah memberi sinyal bahwa banyak kepala pekon/desa yang risih dengan kontrol sosial” lanjut Adi.
Lebih parahnya lagi, terang pimpinan media ini, Jevi Hardi Sofyan mendukung langkah Kapolres Pringsewu yang dianggap melakukan pembatasan terhadap wartawan dan LSM.
Padahal, tugas kepolisian adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan malah menjadi tameng bagi pemangku jabatan publik yang merasa terganggu oleh kerja-kerja jurnalistik dan kontrol sosial.
“Sehingga muncul dugaan bahwa ada simbiosis kepentingan antara Ketua APDESI dan pihak kepolisian” terang Adi.
Apakah Ketua APDESI sedang mencoba mengondisikan situasi agar kepala pekon/desa bebas dari pengawasan? Jika benar demikian, ucap Adi, maka ini adalah pukulan keras bagi upaya pemberantasan korupsi di tingkat desa.
Jika Jevi Hardi Sofyan merasa bahwa wartawan dan LSM hanya mencari keuntungan tanpa dasar legalitas yang jelas, tegas Adi, seharusnya ia mendorong transparansi, bukan malah menolak kehadiran mereka.
“Alih-alih mengeluh soal wartawan dan LSM, lebih baik Ketua APDESI mendorong semua kepala pekon/desa untuk membuka akses informasi publik dengan lebih jelas” jelas Adi.
Masyarakat perlu bertanya, tutur Adi, apakah Ketua APDESI dan para kepala pekon/desa benar-benar bekerja untuk rakyat, atau justru hanya ingin nyaman tanpa diawasi?
“Jika itu benar, maka jangan salahkan publik jika mulai mempertanyakan, asa apa dengan APDESI Pringsewu” tandsnya. ***