LAMPUNG TIMUR – “Ya Allah, kukira membawa berkah, ternyata membawa wabah!”
Begitulah isi status facebook warga Desa Gunung Sugih Besar (GSB), Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur.
Bukan status galau habis putus cinta, melainkan jeritan batin warga yang sudah hampir akrab secara spiritual dengan lalat, serangga bersayap itu kini jadi ‘tetangga’.
Di wilayah yang dulunya dikenal tenang dan nyaman itu, kini lebih mirip lokasi syuting film horor bertema serangga, lalat beterbangan di mana-mana, menyasar dapur, ruang tamu, bahkan ke dalam mimpi warga.
Wabah lalat ini, kata warga, diduga kuat bersumber dari kandang ayam petelur milik PT Central Avian Pertiwi (CAP) yang letaknya hanya selemparan batu dari permukiman.
Tiap tahun wabah ini datang seperti acara rutin musim hujan, musim kemarau, tambah lagi kalo di GSB musim lalat. Bedanya, kalau musim mangga bisa dinikmati, musim lalat bikin trauma makan.
Bahkan, warga melapor makanan kini harus dibuka dengan taktik khusus ala pasukan elit, cepat, tepat, dan siap dihalau sebelum ‘penerjunan’ massal lalat.
Pemerintah desa? Ada sih, katanya. Tapi fungsinya lebih mirip pengamat dokumenter, hanya menonton tanpa aksi nyata. Setiap lalat bertebaran, warga hanya diberi “bantuan kemanusiaan” berupa semprotan pembunuh lalat yang pembagiannya lebih misterius dari plot sinetron prime time.
Ada warga yang dapat, ada juga yang cuma dapat kabar angin.
Pernah suatu waktu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lampung Timur dan Provinsi Lampung, turun gunung, turun ke desa. Harapan warga membumbung tinggi, seolah penyelamat datang.
Tapi ternyata, warga malah dapat ceramah soal kebersihan. DLH bilang, lalat itu datang bukan karena kandang ayam, tapi karena warga yang katanya jorok.
Iya, warga disalahkan.
Kejutan itu seperti korban pencurian yang malah disuruh introspeksi kenapa tidak pasang CCTV.
Komentar Netizen: Lebih Tajam dari Pisau Dapur
Media sosial pun jadi medan perang. Netizen menyerbu kolom komentar seperti lalat menyerbu sambal. Komentar khas warga +62 pun bermunculan:
“Sial!”
“Hewan apa itu bik?”
“Suaranya bukan musik, tapi kayak orkestra kematian!”
“Sama, kami makan di kamar, takut pas buka mulut memasukkan nasi, lalat ikut”
Seorang warga bahkan menyamakan rumahnya seperti tempat ritual mistis:
“Bunyi bersuara terus, kayak panggilan gaib. Tapi bukan roh halus, ini lalat!”
Menurut warga, sejak awal pendirian kandang ayam milik PT CAP, tak ada satu pun langkah konkret yang berhasil mengurangi populasi lalat. Padahal kalau jumlah lalat itu dihitung, mungkin bisa mengalahkan populasi mahasiswa saat demo.
Sampai saat ini, baik pihak perusahaan maupun pemerintah, masih bersikap seperti lalat juga, terbang ke sana ke mari, tapi tak pernah mendarat di solusi.
Warga Gunung Sugih Besar hanya ingin satu bisa makan tanpa drama, bisa tidur tanpa dengungan, dan bisa hidup tanpa ancaman wabah dari serangga bersayap hitam yang jumlahnya seperti lebah saat dilempar sarangnya dengan kayu.
Jika wabah lalat ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin GSB akan punya julukan baru, Kampung Lalat. Dan kalau itu terjadi, satu-satunya yang bisa dibanggakan warga hanya kemampuan mengibas serangga dengan gerakan jurus ninja.
Warga tak butuh janji. Mereka butuh solusi dan kalau bisa, bukan dalam bentuk semprotan yang hanya tahan setengah hari.
Lalat pun perlu rumah, tapi bukan di rumah warga. Gunung Sugih Besar, yang besar bukan hanya nama desanya, tapi juga kesabaran warga yang terus diuji oleh hama bersayap.***