KOTA BEKASI – Wacana pengguliran hak angket oleh sebagian anggota DPRD Kota Bekasi kembali mencuat. Isunya sederhana tapi penuh intrik, mutasi jabatan ASN oleh Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, yang kabarnya melibatkan adik kandungnya.
Rosadi, warga sekaligus mahasiswa Bekasi yang akrab disapa Bang Roy, menilai wacana itu sah-sah saja dalam ranah politik. Tapi, ia menegaskan, jangan sampai kebablasan, apalagi sampai menjadikan mutasi ASN sebagai bahan drama politik murahan.
Bagi Rosadi, warga sekaligus mahasiswa Bekasi yang dikenal kritis, wacana ini terdengar “kayak suara toa masjid kehabisan baterai keras, tapi nggak jelas.”
“Secara hukum tata negara, hak angket memang diatur jelas dalam UU MD3. Minimal 5–7 anggota dari lebih satu fraksi bisa mengajukan, asal menyangkut kebijakan penting, strategis, dan berdampak luas. Tapi kalau cuma soal mutasi ASN, ya itu ibarat nembak lalat pakai meriam,” sindirnya, Sabtu (27/9/2025).
Bang Roy mengingatkan, mutasi jabatan ASN sepenuhnya kewenangan wali kota. Dasarnya jelas: UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017. Bahkan kalaupun yang diangkat adalah adik wali kota sendiri, itu tetap sah asal memenuhi syarat formal dan kompetensi.
“Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 bilang, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Jadi ASN pun punya hak yang sama, bukan malah diharamkan gara-gara saudara pejabat. Masa iya gara-gara adik kandung, jadi dicap KKN? Itu mah logika drakor, bukan hukum,” celetuknya.
Lebih jauh, Bang Roy mengingatkan bahwa Pasal 20A UUD 1945 menyebut hak angket dipakai untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang. Jadi, kalau dipakai buat mengulik mutasi ASN, ibarat masuk warung kopi tapi mesennya odol. Salah kamar.
“Kalau dipaksakan, ya jelas enggak punya dasar konstitusional yang kuat. Itu lebih ke ekspresi politik ketimbang instrumen pengawasan. Ya boleh sih, tapi nanti rakyat yang nilai: ini wakil rakyat serius kerja atau cuma bikin konten politik,” ujarnya.
Menurutnya, energi DPRD sebaiknya dipakai untuk mengawasi program strategis yang langsung bersentuhan dengan warga. Misalnya program Rp100 juta per RW yang sudah digulirkan Tri Adhianto, atau layanan publik lain yang dinikmati masyarakat.
“Bekasi ini butuh kepastian hukum, stabilitas politik, bukan DPRD yang sibuk bikin serial House of Angket. Ingat, kursi DPRD itu amanah undang-undang, bukan kursi sutradara untuk bikin drama konflik politik tanpa rating,” tegas Bang Roy.***












