TANGGAMUS – Skandal pemalsuan tanda tangan dalam surat keterangan jual beli tanah pada pertengahan Oktober 2023 lalu, di Pekon Banyu Urip, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, Lampung, terbongkar.
Pengakuan mengejutkan dari Kepala Pekon Banyu Urip, Santoso, secara terbuka mengaku dipaksa untuk memalsukan tanda tangan Sulistiyo, pemilik sah tanah seluas 3.023 m², demi kepentingan Maruyah, pemilik kolam renang Kok Happy Family.
Dalam wawancara melalui telepon dengan Wawai News pada Selasa, 8 April 2025, Santoso membeberkan bahwa Maruyah dan kaki tangannya menekan dan mengancam agar menandatangani dan memalsukan tanda tangan Sulitiyo dalam dokumen palsu tersebut.
Pengakuan itu pun telah diungkapkan oleh Santoso di hadapan aparat penegak hukum pasca dirinya dilaporkan oleh Sulistiyo ke Polres Tanggamus atas dugaan pemalsuan tanda tangan pada akhir Februari 2025 lalu.
“Itu kan sudah selesai, saya sudah dipanggil ke Polres dan sudah saya jelaskan, bahwa saya dipaksa Maruyah. Kalau tidak saya tanda tangani, saya diancam harus mengganti uang Maruyah Rp230 juta,” ungkap Santoso dengan nada penuh penyesalan.
Pengakuan ini membuka dimensi baru dalam pemalsuan tanda tangan. Tak hanya sekadar pemalsuan dokumen, ada indikasi kuat bahwa aparat pekon dijadikan alat oleh pihak berkepentingan untuk menjalankan praktik ilegal.
Sebelumnya, Sulistiyo melaporkan kasus ini ke Polres Tanggamus pada 21 Februari 2025 dengan STPL Nomor: STPL/3/11/2025/RESKRIM/POLRES TANGGAMUS/POLDA LAMPUNG.
Sulistiyo juga mengaku mendapat intimidasi dari Maruyah saat bertemu di lokasi lahan yang sudah dijadikan kolam renang, ia dikunci di dalam area tersebut dan dipaksa mengakui surat yang telah ditandatangani tanpa sepengetahuannya tersebut.
“Maruyah bilang ke saya, ‘Kalau malam ini tidak selesai, sampean dalam keadaan bahaya,’” ujar Sulistiyo menirukan ancaman Maruyah kepadanya.
Atas persoalan itu, Sulistiyo menuntut keadilan atas tindakan pemalsuan tanda tangannya yang berpotensi merugikannya secara hukum maupun finansial.
Berdasarkan hukum yang berlaku, pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP dapat dikenakan hukuman maksimal enam tahun penjara. Jika terbukti, keterlibatan Maruyah dalam pemalsuan ini bisa menyeretnya pada jerat hukum yang lebih berat.
Sementara, jika unsur intimidasi yang dilakukan oleh Maruyah terhadap Sulistiyo untuk mengakui tanda tangan itu sah serta ancaman dan tekanan terhadap pejabat desa terbukti, maka jeratan hukum tambahan bisa diterapkan terhadap Maruyah dan pihak terkait.
Hingga berita ini diterbitkan, Maruyah selaku pembeli tanah seluas 3.023 m² dan telah membangun usaha kolam renang Kok Happy Family di lokasi tanah tersebut masih belum berhasil dikonfirmasi.
Masyarakat pekon setempat kini menanti langkah tegas dari kepolisian dalam mengusut tuntas kasus ini, termasuk kemungkinan menyeret pihak-pihak lain yang terlibat dalam skandal pemalsuan dokumen dan intimidasi di Pekon Banyu Urip. ***