Scroll untuk baca artikel
LampungSosial

Wagub Lampung Turun Tangan: Bocah Dirantai di Mesuji Ungkap Luka Sosial di Pedalaman Register 45

×

Wagub Lampung Turun Tangan: Bocah Dirantai di Mesuji Ungkap Luka Sosial di Pedalaman Register 45

Sebarkan artikel ini
Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela pun ikut memberi perhatian dan turun ke lokasi anak dirantai oleh orang tuanya di Mesuji Senin 20 Oktober 2025 - foto doc

MESUJI — Kasus memilukan yang menimpa SP (6), bocah perempuan asal Pemukiman Karya Tani, Register 45, Mesuji Timur, Lampung, menggemparkan publik. Di dalam rumah itu, seorang bocah perempuan berusia enam tahun, SP, duduk bersandar di lantai tanah. Kaki kanannya dirantai, digembok ke tiang kayu.

Tubuhnya kurus, kulitnya kotor, dan matanya sayu menatap jendela yang tak punya kaca. Satu-satunya yang menemaninya, segelas kopi dingin sisa pemberian terakhir dari ibunya sebelum pergi bekerja. Tubuhnya lemas, kurus, dan berdebu.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ironisnya, pelaku adalah orangtuanya sendiri Emi Susanti (32), ibu kandung, dan Teguh Suwito (33), ayah tiri korban. Keduanya kini telah diamankan oleh Satreskrim Polres Mesuji untuk menjalani pemeriksaan intensif atas dugaan tindak pidana kekerasan dan penelantaran anak.

Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela pun ikut memberi perhatian dan turun ke lokasi setelah menerima laporan dari jajaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta aparat kepolisian.

“Ini bukan sekadar perkara hukum, tapi cerminan luka sosial yang dalam di wilayah pedalaman kita,” tegas Jihan, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, tindakan orang tua yang merantai anaknya tidak dapat dibenarkan, namun perlu dipahami dari konteks kemiskinan ekstrem dan tekanan sosial yang melingkupi keluarga tersebut.

“Orang tua SP ini hidup di wilayah desil 1 dan desil 2 kategori masyarakat miskin ekstrem. Sang ayah hanya buruh harian lepas. Mereka tidak punya akses memadai ke layanan sosial dan kesehatan,” ujar Jihan.

Dari hasil penyelidikan, diketahui peristiwa pertama terjadi pada 16 Oktober 2025, saat sang ayah tiri mengikat kaki SP menggunakan rantai besi.

Kemudian dua hari kemudian, pada 18 Oktober 2025, gantian ibunya yang menggembok ulang rantai tersebut sebelum pergi mengantar adik SP yang menderita penyakit jantung bawaan dan sumbing langit-langit (palatoskizis) ke rumah sakit.

Ketika warga mendengar tangisan SP, Made Suwija (50) tetangga korban mendobrak pintu rumah dan menemukan bocah itu dalam kondisi mengenaskan. Ia segera melepaskan rantai dengan bantuan warga, lalu melapor ke Polres Mesuji.

“Ketika ditemukan, korban sangat lemah dan mengalami tanda-tanda kekurangan gizi,” ujar AKP Muhammad Prenanta Al Ghazali, Kasat Reskrim Polres Mesuji.

Pemprov Lampung bersama Dinas PPA langsung melakukan pendampingan psikologis dan medis terhadap SP.

“Anak ini mengalami stunting dan berat badannya jauh di bawah standar. Kami sudah minta Direktur RSUD Ragam Begawe Caram Mesuji untuk melakukan intervensi gizi dan pemeriksaan penyakit jantungnya,” jelas Jihan.

Ia juga menegaskan bahwa negara tidak hanya hadir untuk menghukum, tetapi juga memulihkan.

“Kami ingin anak ini pulih lahir batin. Kami juga sedang kaji kemungkinan penempatan sementara di rumah perlindungan anak agar pemulihan psikologinya lebih optimal,” ujarnya.

Meski memahami latar belakang ekonomi keluarga korban, Jihan menegaskan bahwa proses hukum tetap harus berjalan.

“Negara harus tegas, tapi juga adil. Kami minta penyidik melihat secara utuh mens rea atau niat jahatnya, karena faktor ketidaktahuan dan kemiskinan juga berperan besar. Namun kekerasan terhadap anak tetap tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.

Ia juga meminta agar kasus ini dijadikan peringatan keras bagi masyarakat, bahwa anak bukan objek pengasuhan dengan kekerasan, berapa pun sulitnya kondisi hidup.

“Kalau bingung, lapor. Kalau lelah, minta bantuan. Tapi jangan pernah merantai anak,” pungkasnya dengan nada getir.

Wilayah Register 45 Mesuji sejak lama dikenal sebagai kawasan rawan sosial dan minim akses layanan dasar. Banyak warga hidup di rumah tak layak huni, tanpa air bersih, listrik stabil, atau fasilitas kesehatan yang memadai.

Kasus SP kini membuka mata banyak pihak kemiskinan, keterpencilan, dan lemahnya sistem perlindungan sosial masih menjadi tantangan besar di Lampung bagian utara.

Sebagai tindak lanjut, Pemprov Lampung membentuk Tim Respons Cepat Perlindungan Anak Mesuji, melibatkan unsur DP3A, Dinsos, Dinkes, Polres, dan RSUD Ragam Begawe Caram.

Tim ini akan memetakan kondisi sosial keluarga korban, menyalurkan bantuan, serta mengawal proses hukum dan rehabilitasi SP hingga tuntas.

“Ini tanggung jawab kita bersama. Negara harus hadir bukan setelah anak terluka, tapi sebelum rantai itu dipasang,” tegas Wagub Jihan Nurlela.

Bagi masyarakat Lampung, Register 45 bukan sekadar wilayah hutan produksi. Ia adalah cermin dari persoalan sosial yang rumit tempat ribuan keluarga hidup tanpa legalitas lahan, tanpa akses air bersih, listrik, atau pendidikan layak.

Tragedi SP di Mesuji mengingatkan kita bahwa kemiskinan bisa menjadi bentuk kekerasan paling senyap.
Ia tak menampar, tak menjerit, tapi perlahan menghapus pilihan hidup manusia.

Dan di balik berita tentang rantai besi itu, ada pesan penting dari seorang wakil gubernur bahwa keadilan bukan hanya soal siapa yang bersalah, tapi juga soal siapa yang akhirnya berani peduli.***