KOTA BEKASI — Di balik deru truk sampah dan aroma tajam dari Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, ada suara yang jauh lebih kuat dari bising mesin: suara warga yang menuntut keadilan. Mereka bukan meminta belas kasihan, hanya menagih hak yang selama ini seolah dianggap “uang sedekah”.
Selama bertahun-tahun, warga Kelurahan Bantargebang, Kecamatan Bantargebang, hidup berdampingan dengan tumpukan limbah kiriman dari Ibu Kota. Namun kompensasi yang mereka terima masih berada di angka Rp450.000 per kepala keluarga setiap tiga bulan jumlah yang bahkan tidak cukup menutup biaya masker dan obat batuk.
Anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi Golkar Solidaritas, Sarwin Edi Saputra, menegaskan komitmennya memperjuangkan kenaikan kompensasi itu menjadi sekitar Rp1 juta per kepala keluarga.
Menurutnya, warga Bantargebang bukan “relawan pembersih sampah gratis”, melainkan korban kebijakan yang menanggung beban ekologis bagi kenyamanan warga Jakarta.
“Saat ini kompensasi masih sebesar Rp450.000 per triwulan,” ujar Sarwin, mengatakan usai reses di daerah pemilihannya.
“Keinginan saya agar bisa naik hingga Rp1 juta. Namun jika belum tercapai, masyarakat tetap harus bersyukur dan kami akan terus memperjuangkannya,” tambahnya.
Sarwin menyampaikan hal ini pada saat kegiatan reses di RW 02 Kelurahan Bantargebang pada 11 November 2025, di mana ia mendengarkan langsung keluhan warga yang setiap hari hidup di bawah bayang-bayang truk pengangkut sampah dari DKI.
Warga Bantargebang menyaksikan bukit sampah yang terus meninggi, namun nilai kompensasi mereka tak pernah ikut naik.
Kata “keadilan lingkungan” terasa absurd ketika seseorang yang menghirup udara penuh metana hanya mendapat Rp5.000 per hari sebagai ganti rugi.
Setidaknya ada dua catatan penting dari aspirasi warga:
- Kompensasi tak pernah naik sejak program berjalan bertahun-tahun lalu.
- Harapan konkret agar Pemerintah Kota Bekasi dan Pemprov DKI Jakarta segera meninjau ulang skema kompensasi agar sesuai dengan beban sosial dan kesehatan yang ditanggung masyarakat.
“Kalau ini bukan bentuk ketimpangan struktural, lalu apa?” sindir salah satu warga saat sesi dialog terbuka.
Setiap hari, truk-truk dari Jakarta datang membawa sampah dalam volume ribuan ton. Warga Bantargebang mengorbankan kenyamanan, kesehatan, bahkan nilai rumah mereka demi menampung sampah yang bukan mereka hasilkan.
Namun, yang mereka terima hanyalah kompensasi triwulanan yang jumlahnya bahkan lebih kecil dari ongkos operasional kendaraan truk itu sendiri.
“Sebaliknya, pihak pengelola dan penerima sampah mendapat keuntungan logistik besar-besaran,” keluh warga.
Warga Bantargebang tidak ingin hanya menerima amplop setiap tiga bulan dan berfoto di baliho capaian pembangunan. Mereka menuntut kompensasi yang lugas, adil, dan manusiawi.
Sarwin menyebut perjuangan ini bukan sekadar menaikkan angka, tetapi menegakkan martabat.
“Saya yakin seluruh anggota DPRD Kota Bekasi menampung aspirasi yang sama. Saya optimistis kenaikan kompensasi ini bisa terealisasi tahun depan,” ujarnya.
Namun warga tetap realistis. Mereka sudah terlalu sering mendengar janji yang berhenti di rapat-rapat dengar pendapat. Pertanyaan mereka sederhana: Kapan janji itu berubah jadi kenyataan?
Selain isu kompensasi sampah, Sarwin juga menyoroti nasib para kader Posyandu yang selama ini menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. Ia berjanji memperjuangkan pemberian insentif khusus bagi kader di forum DPRD.
“Sebagai garda terdepan kesehatan masyarakat, kader Posyandu patut mendapat perhatian khusus,” tegas Sarwin.
Sebagai bentuk apresiasi, Sarwin juga berencana membagikan 150 seragam baru untuk kader Posyandu di Kelurahan Bantargebang, Cikiwul, dan Ciketing Udik.
Bantuan itu, katanya, berasal dari dana pribadi sebuah simbol kecil penghargaan terhadap dedikasi ibu-ibu yang selama ini bekerja dalam senyap.
“Itu bentuk komitmen saya terhadap kerja keras mereka yang luar biasa,” tutup Sarwin.
Warga Bantargebang tidak menuntut istimewa mereka hanya ingin hak dasar untuk hidup sehat dan layak di tanah yang setiap hari menanggung beban lingkungan ibu kota.
Karena bagi mereka, Bantargebang bukan sekadar titik koordinat di peta Bekasi, melainkan pengingat keras tentang harga yang dibayar manusia ketika keadilan lingkungan hanya menjadi wacana.***













