Scroll untuk baca artikel
Hukum & Kriminal

Wartawan Dihajar di Bekasi, Polisi Terima Laporan: Profesi Kuli Tinta Lagi-Lagi Jadi Sasaran Kekerasan

×

Wartawan Dihajar di Bekasi, Polisi Terima Laporan: Profesi Kuli Tinta Lagi-Lagi Jadi Sasaran Kekerasan

Sebarkan artikel ini
Ambarita wartawan di Bekasi dan laporan ke Polda Metroj Jaya

JAKARTA — Ironi profesi wartawan di negeri ini terus berulang. Seolah menjadi kuli tinta bukan hanya urusan menulis, tapi juga siap jadi sasaran bogem mentah.

Kali ini, kasus menimpa Diori Parulian Ambarita (41), seorang wartawan yang melapor ke Polda Metro Jaya usai jadi korban pengeroyokan brutal di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Berdasarkan STPL Nomor: STTLP/B/6885/IX/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA, peristiwa nahas itu terjadi pada Jumat, 26 September 2025. Diori Ambarita mengaku dikeroyok oleh lebih dari sepuluh orang saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.

Kronologi ala Laporan Polisi

Dalam laporannya, korban menyebut dirinya tengah melakukan peliputan ketika tiba-tiba segerombolan orang langsung melampiaskan kekerasan fisik. Akibatnya, ia mengalami luka pada mata kanan, wajah, kepala, dan bahkan telepon genggamnya dirampas serta isinya dihapus paksa oleh para pelaku.

Tak main-main, kasus ini dijerat dengan Pasal 170 KUHP (pengeroyokan) dan Pasal 18 UU Pers. Polisi menyatakan laporan sudah diterima dan tengah dalam proses penyelidikan.

Profesi wartawan di Indonesia sepertinya makin mirip karung tinju publik. Alih-alih dihargai karena menjalankan fungsi kontrol sosial, justru sering dihajar ketika mengungkap fakta. Ironisnya, setiap kali kasus begini terjadi, narasinya selalu sama:

  • Wartawan dipukuli,
  • HP dirampas,
  • Polisi terima laporan,

Lalu publik menunggu: apakah kasusnya benar-benar tuntas, atau sekadar jadi arsip map coklat di rak penyidik?

PPP Saja Ricuh, Wartawan Pun Ricuh

Entah kebetulan atau tidak, kasus ini muncul di tengah panasnya drama politik dan ricuh-ricuh muktamar. Kursi terbang di forum partai ternyata punya “kembaran” di lapangan kepala wartawan jadi sasaran hantaman.

Bedanya, kalau di muktamar kursinya terbang demi rebutan kursi kekuasaan, di lapangan bogem terbang hanya demi membungkam informasi.

Jika wartawan saja dipukuli terang-terangan di lapangan, bagaimana nasib kebebasan pers di negeri ini?

Apakah wartawan kini harus melengkapi dirinya dengan helm proyek, body protector, dan asuransi jiwa sebelum meliput?

Karena faktanya, di atas kertas kebebasan pers dijamin undang-undang, tapi di lapangan yang dijamin cuma bengkak di pelipis.***

SHARE DISINI!