JAKARTA — Sebanyak 27.000 distributor pupuk resmi dinyatakan “pupus harapan”, usai pemerintah meluncurkan jurus sakti bertajuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025.
Aturan ini menjadi dalih sahih untuk memotong habis jalur distribusi pupuk yang selama ini dianggap lebih panjang dari naskah sinetron stripping.
Sebagai pengganti, pemerintah menyerahkan tongkat estafet distribusi pupuk kepada entitas anyar bernama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih/KDMP) lembaga yang sebelumnya hanya ada di draf, kini jadi kenyataan yang lebih riil dari janji kampanye.
“Waktu itu memang belum ada yang bisa bentuk KDMP. Tapi ya sudah, Perpres-nya sudah keluar, jalan saja dulu,” ujar Tatang Yuliono, Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan, dalam sebuah diskusi, Senin (28/7/2025).
Penghapusan distributor bukan tanpa sebab. Menurut pemerintah, jalur distribusi pupuk selama ini lebih rawan penyelewengan ketimbang kasir minimarket waktu diskon besar.
Tatang menjelaskan bahwa ketidaksesuaian data antara petani, luas lahan, dan jumlah pupuk ibarat permainan tebak angka berhadiah KPK.
“Angkanya gak nyambung. Hektarnya gak cocok. Petaninya entah siapa. Penyuluhnya? Berdoa saja tidak tersandung pasal,” jelas Tatang.
Distribusi pupuk disebut-sebut sarat potensi pidana, di mana para penyuluh bisa lebih sering bersinggungan dengan aparat hukum daripada dengan ladang pertanian.
Situasi ini diam-diam dibaca pemerintah sebagai peluang reformasi atau mungkin alasan bersih-bersih yang kebetulan cocok dengan narasi “penguatan koperasi”.
Yang menarik, saat Perpres ditandatangani Presiden Prabowo, 27.000 distributor yang tereliminasi tidak ada yang demo, mogok, atau bakar ban. Dugaan kuat, mereka tidak punya waktu karena sedang mengepak kardus.
Atau bisa jadi, semuanya sudah memahami kalau selama ini mereka lebih mirip simpul rantai yang justru membuat pupuk lambat sampai ke petani—namun cepat nyasar ke gudang gelap.
KDMP, yang kini ditugaskan menyalurkan pupuk subsidi dan non-subsidi, diharapkan menjadi tangan kanan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan, sembari menggusur tangan-tangan lama yang kadang terlalu kreatif dalam “mengolah data”.
Dulu, pupuk bisa nyasar ke lahan fiktif, disalurkan ke kelompok tani tak berjiwa, atau didistribusikan berdasarkan hubungan sosial bukan kebutuhan aktual.
Kini, dengan sistem yang diklaim “lebih efisien, transparan, dan tepat sasaran”, pemerintah berharap distribusi pupuk tak lagi seperti kencan buta: penuh harapan, tapi sering mengecewakan.***