TULANG BAWANG — Deretan kantor Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang yang terdiri dari ruang rapat, gedung perizinan, dan berbagai papan nama kebanggaan birokrasi ternyata di bawah pondasinya, ada utang lama yang belum dilunasi, tanahnya masih milik orang lain.
Dari Bupati ke Bupati, dari APBD ke APBD yang berubah cuma tanda tangan, bukan tanggung jawab. Kabar belum dibayarkan utang tersebut belakangan membuat gempar Lampung.
Pasalnya ada di atas lahan yang berdiri gagah deretan pekantoran Pemkab Tulang Bawang itu ada hak rakyat yang belum dibayarkan.
Sudah lima bupati berganti, dari masa surat diketik dengan mesin hingga era tanda tangan digital, namun bayaran untuk ahli waris pemilik tanah belum juga dibayar.
Yang kini kebagian pusing? Ya, tentu saja Bupati Qudrotul Ikhwan, karena pepatah hukum bilang, utang jabatan boleh berganti, tapi tanggung jawab tetap melekat di kursi.
Kisah ini mencuat lagi setelah Gindha Ansori Wayka, pengacara dari Kantor Hukum GAW dan LBH Cika, mewakili ahli waris Hanafi Gelar St. Nimbang Alam (Hi R. Hasyim dkk), melayangkan surat resmi ke Bupati dan DPRD Tulang Bawang, pada Rabu (15/10/2025).
“Kami minta tindak lanjut pembayaran ganti rugi atas tanah seluas sekitar 10 hektare yang sejak 27 tahun lalu digunakan untuk perkantoran Pemkab,” ujar Gindha sebagaimana dilansir Wawai News, Jumat 17 Oktober 2025.
Tanah itu bagian dari lahan seluas 50,375 hektare milik keluarga ahli waris. Dan perjuangan mereka bukan main sudah dimulai sejak tahun 1987.
Empat kali pengadilan, dari Kotabumi sampai Mahkamah Agung, semuanya dimenangkan oleh ahli waris. Artinya, status kepemilikan sudah inkracht alias sah secara hukum.
Janji yang Tak Pernah Diangsur
Pada tahun 1997, Bupati Tulang Bawang saat itu, Santori Hasan, mengakui keberadaan tanah tersebut lewat Surat Bupati Nomor: 593/258/02/97.
Isinya: pemerintah daerah akan menjalankan putusan MA dan menyiapkan anggaran ganti rugi di APBD tahun 1998/1999.
Namun, sebagaimana banyak janji yang lahir di kertas pemerintahan, anggaran itu entah menguap di mana. Barangkali ikut tenggelam bersama lembaran APBD lama yang kini hanya jadi arsip di lemari kayu berdebu.
“Pemkab sendiri waktu itu sudah mengakui kepemilikan ahli waris dan berjanji membayar. Tapi sampai sekarang belum terealisasi,” kata Gindha dengan nada datar, seolah sudah kehabisan nada tinggi setelah 27 tahun menunggu.
Perkara yang Tua, Tapi Masih Hidup
Perkara ini tercatat dalam sejarah panjang:
Semuanya menguatkan satu hal: tanah itu sah milik ahli waris. Namun di lapangan, gedung-gedung tetap berdiri kokoh, seperti menatap putusan hukum sambil berkata: “Kami tidak tahu, kami cuma bangunan.”
Kini, Bupati Qudrotul Ikhwan harus menghadapi realitas pahit: utang sejarah yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.
Ia tidak ikut membangun kantor itu, tapi sekarang harus menanggung tagihannya.
Kalau dalam istilah rakyat: yang makan sate duluan, yang sekarang disuruh bayar arang.
Kasus jadi kisah klasik pemerintahan daerah ketika aset publik berdiri di atas lahan pribadi, lalu semua pihak pura-pura lupa siapa yang pertama kali menaruh pondasi.
Selama hampir tiga dekade, Pemkab Tulang Bawang menikmati tanah tanpa ganti rugi, sementara ahli waris menikmati proses hukum yang panjang tanpa ujung.
Hukum sudah bicara, tapi anggaran belum menjawab. Dan mungkin, sebelum masalah ini selesai, akan ada bupati ke-6, ke-7, bahkan ke-8 yang tetap mewarisi satu hal: PR bernama “tanah belum dibayar.”.***