JAKARTA – Secara serentak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menebar benur udang perdana di tujuh lokasi sebagai model tambak udang berkelanjutan.
Ada lima tambak udang model klaster yaitu di Kabupaten Aceh Timur, Lampung Selatan, Cianjur Jawa Barat, Sukamara Kalimantan Tengah dan Kabupaten Buol Sulawesi Selatan, serta 2 lokasi model tambak Milenial Shrimp Farming (MSF) di Kabupaten Jepara Jawa Tengah dan Kabupaten Situbondo Jawa Timur.
Benur udang yang ditebar di 7 lokasi tersebut sebanyak 14,27 juta ekor dengan luas tambak sekitar 35 hektar dengan rata-rata kapadatan benur sekitar 100 ekor per meter persegi.
Kegiatan tersebut merupakan upaya KKP untuk membuat model tambak udang berkelanjutan yang dapat direplikasi oleh masyarakat dan investor dalam rangka menggenjot nilai ekspor udang sebesar 250% pada tahun 2024.
“Tentunya diperlukan kerja keras dan kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam meningkatkan produksi udang secara signifikan”, ujar Sekretaris Jenderal KKP, Antam Novambar saat memberikan sambutan pada acara Penebaran Benih Udang di Aceh Timur, pada Senin (28/12).
Antam menuturkan bahwa komoditas udang masih akan menjadi andalan ekspor produk perikanan nasional karena daya saing komparatif tinggi yaitu potensi pengembangan yang besar, serta dapat memberikan share dominan terhadap devisa ekspor yaitu sekitar 40% terhadap nilai total ekspor produk perikanan nasional.
“Pengembangan konsep klaster tambak udang dan klaster tambak udang milenial ini akan mampu menjadi percontohan kawasan tambak udang terintegrasi yang dapat diimplementasikan di masyarakat dan mampu mengenjot produksi udang nasional”, kata Antam.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto menerangkan bahwa padat tebar rata-rata sebesar 100 ekor per meter persegi.
Estimasi panen size 50 sehingga jumlah produksinya sebesar 209 ton per siklus atau sekitar 419 ton per tahun dengan nilai produksi Rp12,5 milyar per siklus atau Rp25,13 milyar per tahun.
Lanjut Slamet, program kawasan udang ini akan melibatkan secara langsung anggota kelompok pembudidaya penerima bantuan dan kaum milenial dalam proses pemeliharaan sebagai upaya transfer teknologi.
Model tambak berkelanjutan yang dibangun merupakan kawasan tambak ideal karena terdiri dari petak pengelolaan air bersih, petak produksi, petak pengelolaan air limbah dan kawasan hutan mangrove sebagai kawasan penyangga untuk mewujudkan budidaya perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Konsep klaster ini memungkinkan pengelolaan yang lebih terkontrol yakni melalui perbaikan tata letak dan penerapan biosecurity secara ketat dengan manajemen pengelolaan yang lebih terintegrasi dalam seluruh tahapan proses produksi,”jelas Slamet.(*)