Oleh: Yusuf Blegur
Meskipun direkayasa stereotif dengan framing intoleran, radikalis dan fundamentalis. Anies sejatinya seorang Soekarnois, bahkan lebih Soekarnois ketimbang yang mengaku-ngaku, mencari jabatan dan hidup mewah serta berlindung dibalik nama besar Soekarno, sekalipun dibandingkan dengan kalangan nasionalis dan marhaenis itu sendiri.
Pentas politik Indonesia selama beberapa dekade tak bisa dipisahkan dari diksi wong cilik. Selain menjadi variabel penting dalam hajat politik yang berujung capaian kekuasaan. Slogan perjuangan untuk kejayaan rakyat Marhaen itu, menjadi komoditas paling seksi dan menjual.
Betapapun dalam politik praktis, keberadaannya sering tergusur, terpinggirkan dan terabaikan. Keberadaan nasib wong cilik akan terus menjadi polemik dan kontroversi menghiasi negeri, terutama disaat pemerintahan mengabaikan konstitusi dan dikuasai oligarki.
Marhaenisme yang sarat historis dan ideologis, menjadi istilah yang akrab dan populer di kalangan nasionalis sekuler dan Islam Abangan. Ajaran yang digali dari pemikiran Soekarno tentang nasib petani bernama Marhaen yang ditemukan di daratan Sunda itu, tetap terjaga tak lekang oleh waktu dan silih bergantinya generasi.
Melalui buku politik dan sejarah, pendidikan orang tua dan guru politik, kegiatan eksta universitas serta otoritas penulisan sejarah oleh rezim kekuasaan tertentu. Membuat ideologi Marhaenisme yang identik dengan Soekarnoisme itu, seakan terus membersamai perjalanan politik negara bangsa Indonesia.
Bergandengan tangan dengan aliran politik yang menjadi rival atau kompatriotnya seperti kapitalisme, Marxisme dan bahkan dengan Islam yang sering pasang surut hubungannya dan kerap berseberangan.
Secara empirik, ideologi Marhaen dan penganutnya yang lebih kental disebut dengan kalangan Soekarnois. Secara sistem nilai dan praksis, belum menjadi implementatif baik pada tataran kebijakan maupun regulasinya.
Meskipun terminologi Marhaen secara esensi dan substansi sangat equivalen dengan rakyat jelata, situasi dan kondisi masyarakat yang penekanannya lebih digambarkan miskin, lemah dan tak berdaya.
Seperti yang digambarkan Soekarno, Marhaen adalah petani yang hidupnya serba kekurangan bekerja di sawah, meski dia mempunyai alat-alat produksi sendiri seperti cangkul, arit untuk memotong padi dll. Marhaen berbeda dengan kaum proletar sebagai buruh pekerja pabrik di negara-negara eropa, yang hanya punya tenaga dan keringat dari badan atau fisik semata.
Mungkin inilah yang menjadi pemikiran dan mengilhami Soekarno mencetuskan Marhaenisme, bahwasanya petani dan para pekerja buruh lainnya, harus hidup layak dan sejahtera. Sebagai sokoguru revolusi Indonesia, petani buruh dan nelayan merupakan pemilik sah republik, harus memiliki hak dan berdaulat penuh atas negara, terutama dalam soal pekerjaan dan menafkahi keluarga, untuk memenuhi kemamuran dan keadilan seperti apa yang telah diamanatkan koleh cita-cita kemerdekaan, begitu tegas Soekarno.
Namun apa yang sesungguhnya terjadi, kaum Marhaen di Indonesia justru lebih sering menjadi korban eksploitasi dari pemilik modal dan mesin-mesin produksi dari industri yang dikuasainya. Marhaen cuma diperas tenaga dan jiwanya, oleh kapitalisme yang jejaringnya kuat menopang liberalisasi dan sekulerisasi.
Rakyat kecil dan tak berpunya lebih sering pasrah menerima pekerjaan sebagai skrup-skrup kapitalisme, menerima upah kecil dari industri besar, hidup berdampingan dengan kemiskinan dan serba kekurangan serta terseok-seok sekedar mempertahankan hidup. Rakyat menjadi pijakan dan memikul beban berat dari pesta-pora borjuasi korporasi dan birokrasi.
Sementara para pemilik modal, birokrat dan politisi bersatu bersekongkol jahat mewujud oligarki, sebuah wajah baru dari sifat lama kapitalisme yang sejatinya menjalankan imperialisme dan kolonialisme modern.
Para taipan atau cukong bergenetik asing dan aseng itu, berhasil menjadikan para birokrat dan politisi serta kebanyakan ‘stage holder’ menjadi budak oligarki. Berjamaah dan bersekutu melampiaskan hawa nafsu mengejar materi yang menggerakkan sistem sosial, menguasai sumber daya alam dan menaklukkan manusia lainnya. Melahirkan watak dan karakter imperium yang terstruktur dan sistemik.
Hasilnya, untuk berabad-abad lamanya di negeri ini, hanya ada kerusakan, ketimpangan dan ketidakadilan. Segelintir orang menguasai hajat hidup orang banyak. Kekayaan alam yang berlimpah dimiliki sekelompok orang. Indonesia tak ubahnya memasuki fragmen distorsi konstitusi dan kekuasaan.
Negara kaya dalam cengkeraman kemiskinan, mayoritas rakyatnya beragama dan menganut Pancasila namun dalam represi, penindasan dan penderitaan berkepanjangan. Hidup sebagai bangsa yang besar tapi kerdil jiwanya, beragama tapi tak Bertuhan dan menjadi manusia yang tak manusiawi.
Anies Anak Ideologis Soekarno